Penyakit Paru Obstruktif Kronik (COPD) merupakan suatu
istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai oleh peningkatan
resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya. Ketiga penyakit
yang membentuk satu kesatuan yang dikenal dengan COPD
adalah : Bronchitis kronis,
emfisema paru-paru dan asthma bronchiale.
Sering juga penyakit ini disebut dengan
“Chronic Airflow Limitation (CAL)” dan “Chronic
Obstructive Lung Diseases (COLD)”
A. ASTHMA BRONCHIALE
1. DEFINISI
Asthma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial
yang mempunyai ciri
bronchospasme periodik (kontraksi spasme pada saluran
nafas). Asthma merupakan
penyakit yang kompleks yang dapat diakibatkan oleh
faktor biochemical, endokrin,
infeksi, otonomik dan psikologi.
2. TIPE ASTHMA
Asthma terbagi menjadi alergi, idiopatik, non alergik
atau campuran (mixed) :
a. Asthma Alergik /Ekstrinsik, merupakan suatu bentuk asthma dengan penyebab
allergen (missal : bulu binatang, debu, ketombe,
tepung sari, makanan dll). Allergen
terbanyak adalah airborne dan seasonal (musiman).
Pasien dengan asthma alergik
biasanya mempunyai riwayat penyakit alergi pada keluarga dan riwayat
pengobatan exzema atau rhinitis alergik. Paparan
terhadap alergi akan mencetuskan
serangan asthma. Bentuk asthma ini biasanya dimulai
saat kanak-kanak.
b. Idiopathic atau
Nonallergic Asthma/Intrinsik, tidak berhubungan secara langsung
dengan allergen spesifik. Faktor-faktor seperti common
cold, infeksi saluran nafas
atas, kegiatan, emosi dan polusi lingkungan akan
mencetuskan serangan. Beberapa
agent pharmakologi, beta-adrenergic antagonist dan
agent sulfite (penyedap
makanan) juga dapat sebagai faktor. Serangan dari
asthma idiopatik atau nonalergik
menjadi lebih berat dan seringkali dengan berjalannya
waktu dan dapat berkembang
menjadi bronchitis dan emfisema. Beberapa pasien
berkembang menjadi asthma
campuran. Bentuk asthma ini biasanya dimulai pada saat
dewasa (> 35 tahun).
c. Asthma Campuran
(Mixed Asthma),
merupakan bentuk asthma yang paling sering.
Dikarakteristikkan dengan bentuk kedua jenis asthma
alergi dan idiopatik atau
nonalergi.
3. ETIOLOGI
Sampai saat ini etiologi asthma belum diketahui dengan
pasti, suatu hal yang menonjol
pada semua penderita asthma adalah fenomena
hiperreaktivitas bronchus. bronchus
penderita asthma sangat peka terhadap rangsangan
imunologi maupun non-imunologi.
Karena sifat inilah maka serangan asthma mudah terjadi
akibat berbagai rangsangan
baik fisis, metabolik, kimia, alergen, infeksi dan sebagainya.
Rangsangan atau pencetus
yang sering menimbulkan asthma perlu diketahui dan
sedapat mungkin dihindarkan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
a. Alergen utama : debu rumah, spora jamur
dan tepung sari rerumputan
b. Iritan seperti asap, bau-bauan, pollutan
c. Infeksi saluran nafas terutama yang
disebabkan oleh virus
d. Perubahan cuaca yang ekstrim.
e. Kegiatan jasmani yang berlebihan.
f. Lingkungan kerja
g. Obat-obatan.
h. Emosi
i. Lain-lain : seperti reflux gastro
esofagus.
4. GAMBARAN KLINIS
Gejala asthma terdiri dari triad : dispnea, batuk dan mengi, gejala yang
disebutkan
terakhir sering dianggap sebagai gejala yang harus ada
(“sine qua non”).
Objektif
Sesak nafas yang berat dengan ekspirasi memanjang
disertai wheezing.
Dapat disertai batuk dengan sputum kental, sulit
dikeluarkan.
Bernafas dengan menggunakan otot-otot nafas tambahan
Cyanosis, tachicardia, gelisah, pulsus paradoksus.
Fase ekspirasi memanjang disertai wheezing (di apex
dan hilus)
Subjektif
Klien merasa sukar bernafas, sesak, anoreksia.
Psikososial
Cemas, takut dan mudah tersinggung
Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi
penyakitnya.
5. PATOFISIOLOGI
Asthma akibat alergi bergantung kepada respon IgE yang
dikendalikan oleh limfosit T dan B dan diaktifkan oleh interaksi antara antigen
dengan molekul IgE yang berikatan dengan sel mast. Sebagian besar alergen yang
mencetuskan asthma bersifat airborne dan supaya dapat menginduksi keadaan sensitivitas,
alergen tersebut harus tersediadalam jumlah banyak untuk periode waktu
tertentu. Akan tetapi sekali sensitisasi telahterjadi pasien akan
memperlihatkan respon yang sangat baik sehingga sejumlah kecilalergen yang
mengganggu sudah dapat menghasilkan eksaserbasi penyakit yang jelas.
Obat yang paling sering berhubungan dengan induksi
episode akut asthma adalah
aspirin, bahan pewarna seperti tartazin, antagonis
beta-adrenergik dan bahan sulfat.
Sindroma pernafasan sensitif-aspirin khusus terutama
mengenai orang dewasa,
walaupun keadaan ini juga dapat dilihat pada masa kanak-kanak.
Masalah ini biasanya
berawal dari rhinitis vasomotor perennial yang diikuti
oleh rhinosinusitis hiperplastik
dengan polip
nasal. Baru kemudian muncul asthma progresif.
Pasien yang sensitif terhadap aspirin dapat
didesentisasi dengan pemberian obat setiap hari. Setelah menjalani bentuk
terapi ini, toleransi silang juga akan terbentuk terhadap agen anti-inflamasi
non-steroid lain. Mekanisme dengan aspirin dan obat lain dapat menyebabkan
bronkospasme tidak diketahui tetapi mungkin berkaitan dengan pembentukan
leukotrien yang diinduksi secara khusus oleh aspirin.
Antagonis beta-adrenergik biasanya menyebabkan
obstruksi jalan nafas pada pasien asthma demikian juga dengan pasien lain
dengan peningkatan reaktifitas jalan nafas dan harus dihindarkan pada pasien
ini. Obat sulfat, seperti kalium metabisulfit, kalium dan natrium bisulfit,
natrium sulfit dan sulfat klorida, yang secara luas digunakan dalam industri
makanan dan farmasi sebagai agen sanitasi dan pengawet juga dapat menimbulkan
obstruksi jalan nafas akut pada pasien yang sensitif. Pajanan biasanya terjadi
setelah menelan makanan atau cairan yang mengandung senyawa ini, misal, salad,
buah segar, kentang, kerang dan anggur.
Pencetus-pencetus serangan di atas ditambah cetusan
lainnya dari internal pasien akan mengakibatkan
timbulnya reaksi antigen dan antibodi yang mengakibatan dikeluarkan substansi
pereda alergi yang sebetulnya merupakan mekanisme tubuh dalam menghadapi
serangan yang dapat berupa dikeluarkannya histamin, bradikinin dan anafilatoksin.
Hasil dari hal tersebut timbul 3 gejala yaitu berkontraksinya otot polos, peningkatan
permeabilitas kapiler dan peningkatan sekresi mukus.
Pencetus serangan
(alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)
Konstriksi Otot Polos
Bronchospasme
Bersihan jalan
nafas tak efektif
Kerusakan
Pertukaran Gas
Reaksi Antigen dan Antibodi
Release Vasoactive Substance
(histamin, bradikinin, anafilatoxin)
↑ Permeabilitas Kapiler
Kontraksi Otot Polos
Edema mukosa
Hipersekresi
Obstruksi Saluran Nafas
Hipoventilasi
Distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
Gangguan difusi gas di alveoli
Hipoxemia
Hiperkapnia
Gambar 13 : Skema Patofisiologi Asthma
Bronchiale
Untuk melihat derajat beratnya asthma biasanya
dilakukan pemeriksaan secara
komprehensif dengan menggunakan alat ukur seperti pada
tabel 2.
Tabel 2 :Pengkajian Untuk menentukan
beratnya Asthma
Manifestasi Klinis Skor 0 Skor 1
a. Penurunan toleransi beraktifitas
b. Penggunaan otot nafas tambahan, adanya
retraksi interkostal.
c. Wheezing
d. Respirasi rate permenit
e. Pulse rate permenit
f. Teraba pulsus paradoksus
g. Puncak Expiratory Flow Rate (L/menit)
Ya
Tidak ada
Tidak ada
< 25
< 120
Tidak ada
> 100
↑
Sekresi Mukus
↑ Produksi Mukus
Ketidakseimbangan
Nutrisi : Kurang dari
kebutuhan tubuh
(Risiko/aktual)
Keterangan : Skor 4/lebih disangkakan asthma berat,
klien harus diobservasi untuk
menentukan adakah respon dari terapi atau segera
dikirim ke rumah sakit.
Ada > 25 >
120
Ada < 100
Ringan Sedang Berat Status Asmatikus
PaO2
PaCO2 pH
Elevasi
Menurun
Alkalosis
6. PENATALAKSANAAN
Normal sampai hipoxemiaringan
Menurun sampai Normal Alkalosis
Hipoxemia
Elevasi Alkalosis
Prinsip-prinsip penatalaksanaan asthma bronchial :
a. Diagnosis status asmatikus. Faktor penting
yang harus diperhatikan :
1) Saatnya serangan
2) Obat-obatan yang telah diberikan (macam
dan dosis)
b. Pemberian obat bronchodilator.
c. Penilaian terhadap perbaikan serangan.
d. Pertimbangan terhadap pemberian
kortikosteroid.
e. Setelah serangan mereda :
1) Cari faktor penyebab.
2) Modifikasi pengobatan penunjang
selanjutnya.
7. OBAT-OBATAN
Hipoxemia berat
Elevasi Jelas
Asidosis
a. Bronchodilator
Tidak digunakan bronchodilator oral, tetapi dipakai
secara inhalasi atau parenteral.Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan
simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan Aminophilin secara parenteral sebab
mekanisme yang berlainan, demikian sebaliknya, bila sebelumnya telah digunakan
obat golongan Teofilin oralmaka sebaiknya diberikan obat golongan
simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
obat-obatan bronchodilator golongan simpatomimetik bentuk
selektif terhadap
adrenoreseptor (Orsiprendlin, Salbutamol, Terbutalin,
Ispenturin, Fenoterol)
mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih
lama serta efek samping kecil
dibandingkan dengan bentuk non-selektif (Adrenalin,
Efedrin, Isoprendlin)
Obat-obat bronchodilatator serta aerosol bekerja lebih
cepat dan efek samping
sistemik lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak nafas
berat pada anak-anak
dan dewasa. Mula-mula diberikan 2 sedotan dari Metered
Aerosol Defire
(Afulpen Metered Aerosol). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang tiap 4 jam, jika tidak ada perbaikan sampai 10-15 menit
berikan Aminophilin intravena.
Obat-obat Bronchodilatator simpatomimetik memberi efek
samping tachicardia,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati,
berbahaya pada penyakit
hipertensi, kardiovaskuler dan serebrovaskuler. Pada
dewasa dicoba dengan 0,3
ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan.
Anak-anak 0,01 mg/Kg BB
subkutan (1 mg permil) dapat diulang tiap 30 menit
untuk 2–3x sesuai kebutuhan.
Pemberian Aminophilin secara intravena dosis awal 5 –
6 mg/Kg BB dewasa/anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10
menit. Untuk dosis penunjang 0,9 mg/KgBB/Jam secara infus. Efek
sampingnya tekanan darah
menurun bila dilakukan tidak secara perlahan.
b. Kortikosteroid
Pemberian obat–obat bronchodilatator tidak menunjukkan
perbaikan, dilanjutkan
dengan pengobatan kortikosteroid 200 mg hidrokortison
secara oral atau dengan
dosis 3 – 4 mg/Kg BB intravena sebagai dosis permulaan
dan dapat diulang 2 – 4
jam secara parenteral sampai serangan akut terkontrol,
dengan diikuti pemberian 30– 60 mg prednison atau dengan dosis 1 – 2 mg/Kg
BB/hari secara oral dalam dosisterbagi, kemudian dosis dikurangi secara
bertahap.
c. Pemberian Oksigen
Melalui kanul hidung dengan kecepatan aliran O2 2-4
liter/menit dan dialirkan
melalui air untuk memberikan kelembaban. Obat
ekspektoran seperti
Gliserolguaiakolat dapat juga digunakan untuk
memperbaiki dehidrasi, maka intakecairan peroral dan infus harus cukup, sesuai
dengan prinsip rehidrasi, antibiotikdiberikan bila ada infeksi.
d. Beta Agonists
Beta agonists (ß-adrenergic
agents) merupakan pengobatan awal yang digunakan
dalam pengobatan asthma dikarenakan obat ini bekerja
dengan jalan mendilatasikan otot polos.
Adrenergic Agent juga meningkatkan pergerakan cilliary, menurunkan mediator
kimia anaphylaxis dan dapat meningkatkan efek broncholasi dari kortikosteroid.
Agent adrenergic yang sering digunakan antara lain epinephrine, albuterol,
metaproterenol, isoproterenol, isoetharine dan terbutaline. Biasanya diberikan
secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan jalan pilihan dikarenakan
dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek samping yang lebih kecil.
B. BRONCHITIS KRONIS
1. DEFINISI
Bronchitis akut adalah radang mendadak pada bronchus
yang biasanya mengenai
trachea dan laring, sehingga sering dinamai juga
dengan “laringotracheobronchitis”.Radang ini dapat timbul sebagai kelainan jalan nafas
tersendiri atau sebagai bagian dari penyakit sistemik, misalnya pada morbili,
pertusis, difteri dan typhus abdominalis.
Istilah bronchitis kronis menunjukkan kelainan pada
bronchus yang sifatnya menahun (berlangsung lama) dan disebabkan oleh berbagai
faktor, baik yang berasal dari luar bronchus maupun dari bronchus itu sendiri,
merupakan keadaan yang berkaitan dengan produksi mukus takeobronkial yang
berlebihan sehingga cukup untuk menimbulkanbatuk dengan ekspektorasi sedikitnya
3 bulan dalam setahun untuk lebih dari 2 tahun secara berturut-turut.
Bronchitis kronis bukanlah merupakan bentuk menahun
dari bronchitis akut. Walaupun demikian, pada perjalanan penyakit bronchitis
kronis dapat ditemukan periode akut, yang menunjukkan adanya serangan bakteri
pada dinding bronchus yang tidak normal. Infeksi sekunder oleh bakteri ini
menimbulkan kerusakan yang lebih banyak sehingga akan memperburuk keadaan.
2. ETIOLOGI
Terdapat 3 jenis penyebab bronchitis akut, yaitu :
a. Infeksi : stafilokokus, sterptokokus, pneumokokus,
haemophilus influenzae.
b. Alergi
c. Rangsang : misal asap pabrik, asap mobil, asap rokok
dll.
Bronchitis kronis dapat merupakan komplikasi kelainan
patologik yang mengenai
beberapa alat tubuh, yaitu :
a. Penyakit Jantung
Menahun, baik
pada katup maupun myocardium. Kongesti
menahun pada dinding bronchus melemahkan daya tahannya
sehingga infeksi
bakteri mudah terjadi.
b. Infeksi sinus
paranasalis dan Rongga mulut, merupakan sumber bakteri yang
dapat menyerang dinding bronchus.
c. Dilatasi
Bronchus (Bronchiectasi),
menyebabkan gangguan susunan dan fungsi
dinding bronchus sehingga infeksi bakteri mudah
terjadi.
d. Rokok, yang dapat menimbulkan kelumpuhan bulu getar
selaput lendir bronchus
sehingga drainase lendir terganggu. Kumpulan lendir
tersebut merupakan media
yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
3. PATOFISIOLOGI
Bronchitis akut dapat timbul dalam serangan tunggal
atau dapat timbul kembali sebagai
eksaserbasi akut dari bronchitis kronis. Pada infeksi
saluran nafas bagian atas, biasanya
virus, seringkali merupakan awal dari serangan
bronchitis akut. Dokter akan
mendiagnosa bronchitis kronis jika klien mengalami
batuk atau produksi sputum
selama beberapa hari + 3 bulan dalam 1 tahun dan
paling sedikit dalam 2 tahun
berturut-turut.
Bronchitis timbul sebagai akibat dari adanya paparan
terhadap agent infeksi maupun non-infeksi (terutama rokok tembakau). Iritan
akan menyebabkan timbulnya respon inflamasi yang akan menyebabkan vasodilatasi,
kongesti, edema mukosa dan bronchospasme. Tidak seperti emfisema, bronchitis
lebih mempengaruhi jalan nafas kecil dan besar dibandingkan pada alveolinya.
Aliran udara dapat atau mungkin juga tidak mengalami hambatan.
Klien dengan bronchitis kronis akan mengalami :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar
mukus pada bronchi besar, yang mana
akan meningkatkan produksi mukus.
b. Mukus lebih kental
c. Kerusakan fungsi cilliary sehingga
menurunkan mekanisme pembersihan mukus.
Oleh karena itu, “mucocilliary defence” dari paru
mengalami kerusakan dan
meningkatkan kecenderungan untuk terserang infeksi.
Ketika infeksi timbul, kelenjar
mukus akan menjadi hipertropi dan hiperplasia sehingga
produksi mukus akan
meningkat. Dinding bronchial meradang dan menebal
(seringkali sampai dua kali
ketebalan normal) dan mengganggu aliran udara. Mukus
kental ini bersama-sama
dengan produksi mukus yang banyak akan menghambat
beberapa aliran udara kecil dan
mempersempit saluran udara besar. Bronchitis kronis
mula-mula mempengaruhi hanya
pada bronchus besar, tetapi biasanya seluruh saluran
nafas akan terkena.
Mukus yang kental dan pembesaran bronchus akan
mengobstruksi jalan nafas, terutama
selama ekspirasi. Jalan nafas mengalami kollaps, dan
udara terperangkap pada bagian
distal dari paru-paru. Obstruksi ini menyebabkan
penurunan ventilasi alveolar, hipoxia
dan asidosis. Klien mengalami kekurangan oksigen
jaringan ; ratio ventilasi perfusi
abnormal timbul, dimana terjadi penurunan PaO2.
Kerusakan ventilasi dapat juga
meningkatkan nilai PaCO2. Klien terlihat cyanosis.
Sebagai kompensasi dari
hipoxemia, maka terjadi polisitemia (overproduksi
eritrosit).
Pada saat penyakit memberat, diproduksi sejumlah
sputum yang hitam, biasanya karena
infeksi pulmonary. Selama infeksi klien mengalami
reduksi pada FEV dengan
peningkatan pada RV dan FRC. Jika masalah tersebut
tidak ditanggulangi, hipoxemia
akan timbul yang akhirnya menuju penyakit cor pulmonal
dan CHF.
4. MANIFESTASI KLINIK BRONCHITIS KRONIS
a. Penampilan umum : cenderung overweight,
cyanosis akibat pengaruh sekunder
polisitemia, edema (akibat CHF kanan), barrel chest.
b. Usia : 45 – 65 tahun
c. Pengkajian :
_ Batuk persisten, produksi sputum seperti
kopi, dyspnea dalam beberapa
keadaan, variabel wheezing pada saat ekspirasi, sering
infeksi pada sistem
respirasi.
_ Gejala biasanya timbul pada waktu yang
lama.
d. Jantung : pembesaran jantung, Cor
Pulmonal, Hematokrit > 60%
e. Riwayat merokok ⊕
5. MANAGEMENT MEDIS BRONCHITIS KRONIS
Pengobatan yang utama ditujukan untuk mencegah dan
mengontrol infeksi dan
meningkatkan drainase bronchial menjadi jernih.
Pengobatan yang diberikan :
a. Antimikrobial
b. Postural Drainage
c. Bronchodilator
d. Aerosolized Nebulizer
e. Surgical
Intervention
C. EMFISEMA PARU
1. DEFINISI
Emfisema merupakan gangguan pengembangan paru-paru
yang ditandai oleh pelebaran
ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan (WHO).
Sesuai dengan definisi tersebut, maka jika ditemukan
kelainan berupa pelebaran ruang
udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi
jaringan maka keadaan ini sebenarnya
tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai “overinflation”.
2. PATOGENESIS
Terdapat 4 perubahan patologik yang dapat timbul pada
klien emfisema, yaitu :
a. Hilangnya
elastisitas paru.
Protease (enzim paru) merubah atau merusakkan alveoli
dan saluran nafas kecil
dengan jalan merusakkan serabut elastin. Akibat hal
tersebut, kantung alveolar
kehilangan elastisitasnya dan jalan nafas kecil
menjadi kollaps atau menyempit.
Beberapa alveoli rusak dan yang lainnya mungkin dapat
menjadi membesar.
b. Hyperinflation
Paru
Pembesaran alveoli mencegah paru-paru untuk kembali
kepada posisi istirahat
normal selama ekspirasi.
c. Terbentuknya
Bullae
Dinding alveolar membengkak dan berhubungan untuk
membentuk suatu bullae
(ruangan tempat udara) yang dapat dilihat pada
pemeriksaan X-ray.
d. Kollaps jalan
nafas kecil dan udara terperangkap
Ketika klien berusaha untuk ekshalasi secara kuat,
tekanan positif intratorak akan
menyebabkan kollapsnya jalan nafas.
3. TIPE EMFISEMA
Terdapat tiga tipe dari emfisema :
a. Emfisema Centriolobular
Merupakan tipe yang sering muncul, menghasilkan
kerusakan bronchiolus,
biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang
pada bronchiolus tetapi
biasanya kantung alveolar tetap bersisa..
b. Emfisema Panlobular (Panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya
termasuk pada paru bagian
bawah. Bentuk ini bersama disebut centriacinar
emfisema, timbul sangat sering
pada seorang perokok.
c. Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang
mengakibatkan isolasi dari blebs
sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya
sebagai sebab dari
pneumothorax spontan. Panacinar timbul pada orang tua
dan klien dengan defisiensi enzim
alpha-antitripsin.
Pada keadaan
lanjut, terjadi peningkatan dyspnea dan infeksi pulmoner, seringkali timbul Cor
Pulmonal (CHF bagian kanan) timbul.
4. PATOFISIOLOGI
Emfisema merupakan kelainan dimana terjadinya
kerusakan pada dinding alveolar,
yang mana akan menyebabkan overdistensi permanen ruang
udara. Perjalanan udara
terganggu akibat dari perubahan ini. Kesulitan selama
ekspirasi pada emfisema
merupakan akibat dari adanya destruksi dinding
(septum) diantara alveoli, kollaps jalan nafas sebagian dan kehilangan
elastisitas recoil. Pada saat alveoli dan septa kollaps, udara akan tertahan
diantara ruang alveolar (disebut blebs) dan diantara parenkim paru (disebut
bullae). Proses ini akan menyebabkan peningkatan ventilatory pada “dead space”
atau area yang tidak mengalami pertukaran gas atau darah.
Kerja nafas meningkat dikarenakan terjadinya
kekurangan fungsi jaringan paru untukmelakukan pertukaran oksigen dan karbon
dioksida. Emfisema juga menyebabkan destruksi kapiler paru, lebih lanjut terjadi
penurunan perfusi oksigen dan penurunanv entilasi. Pada beberapa tingkat
emfisema dianggap normal sesuai dengan usia, tetapi jika hal ini timbul pada
awal kehidupan (usia muda), biasanya berhubungan dengan bronchitis kronis dan
merokok.
5. MEKANISME PENYAKIT
Asap tembakau
Polusi Udara
Gangguan pembersihan paru-paru
Peradangan bronchus dan bronchiolus Obstruksi jalan nafas akibat peradangan
Hipoventilasi alveolar Bronchiolitis kronik
Predisposisi
Genetik (defisiensi alfa antitripsin)
CLE Bronchiolitis
Sekat & jaringan penyokong
hilang
Saluran nafas kecil kollaps
saat ekspirasi
PLE (Emfisema Panlobular)
Dinding bronchiolus
melemah dan alveoli pecah
Saluran nafas
kecil kolaps
sewaktu ekspirasi
kronik
CLE (Emfisema
Faktor-faktor
yang
tidak diketahui
Seumur hidup
PLE asimptomatik
pada orang tua
CLE dan PLE
Centriolobular)
(Sumber : Price, S.A., & Wilson, L.M., 1996)
6. MANIFESTASI KLINIK
a. Penampilan Umum
Kurus, warna kulit pucat, flattened hemidiafragma
Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada
stadium akhir.
b. Usia 65 – 75 tahun.
c. Pengkajian fisik
Nafas pendek persisten dengan peningkatan dyspnea
Infeksi sistem respirasi
Pada auskultasi terdapat penurunan suara nafas
meskipun dengan nafas dalam.
Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas.
Produksi sputum dan batuk jarang.
d. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung. Cor Pulmonal timbul
pada stadium akhir.
Hematokrit < 60%
e. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan, tapi tidak selalu ada riwayat
merokok.
7. MEDICAL MANAGEMENT
Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah untuk
meningkatkan kualitas
hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan
mengobati obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoxia.Pendekatan
terapi mencakup:
Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan
menurunkan kerja nafas.
Mencegah dan mengobati infeksi
Teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan
ventilasi paru
Memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk
memfasilitasi
pernafasan.
Support psikologis
Patient education and rehabilitation.
Jenis obat yang diberikan :
Bronchodilators
Aerosol therapy
Treatment of infection
Corticosteroids
Oxygenation
D. PENGKAJIAN DIAGNOSTIK COPD
1. Chest X-Ray : dapat menunjukkan hiperinflation paru,
flattened diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskular/bulla (emfisema),
peningkatan bentuk bronchovaskular (bronchitis),
normal ditemukan saat periode
remisi (asthma)
2. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dari
dyspnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau
restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek dari
terapi, misal : bronchodilator.
3. TLC : meningkat pada bronchitis berat dan biasanya pada
asthma, menurun pada emfisema.
4. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema
5. FEV1/FVC : ratio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap
tekanan kapasitas vital (FVC) menurun
pada bronchitis dan asthma.
6. ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, seringkali PaO2
menurun dan PaCO2
normal atau meningkat (bronchitis kronis dan emfisema)
tetapi seringkali menurun pada asthma, pH normal atau asidosis, alkalosis
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau
asthma).
7. Bronchogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronchi saat
inspirasi, kollaps
bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema),
pembesaran kelenjar mukus (bronchitis)
8. Darah Komplit : peningkatan hemoglobin (emfisema berat),
peningkatan eosinofil (asthma).
9. Kimia Darah : alpha 1-antitrypsin dilakukan untuk kemungkinan
kurang pada
emfisema primer.
10. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi,
mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitologi untuk menentukan penyakit
keganasan atau allergi.
11. ECG : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asthma
berat), atrial disritmia
(bronchitis), gel. P pada Leads II, III, AVF panjang,
tinggi (bronchitis, emfisema), axis QRS vertikal (emfisema)
12. Exercise ECG, Stress Test : menolong mengkaji tingkat disfungsi
pernafasan, mengevaluasi keefektifan obat bronchodilator, merencanakan/evaluasi
program.
E. KOMPLIKASI COPD
1. Hipoxemia
Hipoxemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2
kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi Oksigen <85%. Pada awalnya klien
akan mengalami perubahan mood, penurunan konsentrasi dan pelupa. Pada tahap
lanjut timbul cyanosis.
2. Asidosis Respiratory
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2
(hiperkapnia). Tanda yang muncul antara lain : nyeri kepala, fatique, lethargi,
dizzines, tachipnea.
3. Infeksi Respiratory
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan
produksi mukus, peningkatan rangsangan otot polos bronchial dan edema mukosa.
Terbatasnya aliran udara akan meningkatkan kerja nafas dan timbulnya dyspnea.
4. Gagal jantung
Terutama kor-pulmonal (gagal jantung kanan akibat
penyakit paru), harus diobservasi terutama pada klien dengan dyspnea berat.
Komplikasi ini sering kali berhubungan
dengan bronchitis kronis, tetapi klien dengan emfisema
berat juga dapat mengalami masalah ini.
5. Cardiac Disritmia
Timbul akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain,
efek obat atau asidosis respiratory.
6. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan
asthma bronchial. Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan dan
seringkali tidak berespon terhadap therapi yang biasa diberikan. Penggunaan
otot bantu pernafasan dan distensi vena
leher seringkali terlihat.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN COPD
Intervensi dan rasional pada penyakit ini didasarkan
pada konsep Nursing
Intervention
Classification (NIC) dan Nursing Outcome Classification (NOC)
Tabel 4 : Rencana Asuhan keperawatan Klien
COPD
Perencanaan
No
Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1.
Bersihan jalan nafas tak efektif yang berhubungan dengan
:
_ Bronchospasme
_ Peningkatan produksi sekret (sekret yang tertahan,
kental)
_ Menurunnyaenergi/fatique Data-data
_ Klien mengeluh sulit untuk bernafas
_ Perubahan kedalaman/jumlahnafas,
penggunaan otot bantu pernafasan
_ Suara nafas abnormal seperti : wheezing, ronchi,
crackles
_ Batuk (persisten)dengan/tanpa
produksisputum.
2.Kerusakan
Pertukaran gas yang berhubungan dengan:
_ Kurangnya suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh
sekret, bronchospasme, air trapping).
_ Destruksi alveoliData-data :
_ Dyspnea
_ Confusion, lemah.
_ Tidak mampu mengeluarkan sekret
_ Nilai ABGs abnormal (hipoxia
danhiperkapnia)
_ Perubahan tanda vital.
_ Menurunnya toleransi terhadap aktifitas.
3.Ketidakseimbangan
nutrisi: Kurang dari kebutuhantubuh yang berhubungan
Status Respirasi :
Kepatenan Jalan nafas #dengan skala…….. (1 –5) setelah diberikan perawatan
selama…….Hari, dengan kriteria :
Tidak ada demam
Tidak ada cemas
RR dalam batas normal
Irama nafas dalam batas normal
Pergerakan sputum keluar dari jalannafas
Bebas dari suaranafas tambahan Status Respirasi :
Pertukaran gas # dengan skala ……. (1 – 5) setelah diberikan perawatan
selama…….
Hari dengan kriteria :
Status mental dalam batas normal
Bernafas dengan mudah
Tidak ada cyanosis
PaO2 dan PaCO2 dalam batas normal
Saturasi O2 dalam rentang normal
Status Nutrisi : Intake cairan dan makanan gas # dengan skala ……. (1– 5)
setelah diberikan
a. Manajemen
jalan nafas
b. Penurunan
kecemasan
c. Aspiration
precautions
d. Fisioterapi
dada
e. Latih
batuk efektif
f. Terapi
oksigen
g. Pemberian
posisi
h. Monitoring
respirasi
i. Surveillance
j. Monitoring
tanda vital
a. Manajemen
asam dan basa tubuh
b. Manajemen
jalan nafas
c. Latih
batuk
d. Tingkatkan
keiatan
e. Terapi
oksigen
f. Monitoring
respirasi
g. Monitoring
tanda vital
a. Manajemen cairan
b. Monitoring cairan
c. Status diet
Diagnosa Keperawatan
(NANDA)
Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
dengan :
Dyspnea, fatique
Efek samping
Pengobatan
Produksi sputum
Anorexia,
nausea/vomiting.
Data :
Penurunan berat badan
Kehilangan masa otot,
tonus otot jelek
Dilaporkan adanya
perubahan sensasi rasa
Tidak bernafsu untuk
makan, tidak tertarik
makan
perawatan selama…….
Hari dengan kriteria :
Asupan makanan
skala (1 – 5)
(adekuat)
Intake cairan
peroral (1 – 5)
(adekuat)
Intake cairan (1 – 5)
(adekuat)
Status Nutrisi : Intake
Nutrien gas # dengan
skala ……. (1 – 5)
setelah diberikan
perawatan selama…….
Hari dengan kriteria :
Intake kalori (1 – 5)
(adekuat)
Intake protein,
karbohidrat dan
lemak (1 – 5)
(adekuat)
Kontrol Berat Badan
gas # dengan skala
……. (1 – 5) setelah
diberikan perawatan
selama……. Hari
dengan kriteria :
Mampu
memeliharan intake
kalori secara
optimal (1 – 5)
(menunjukkan)
Mampu memelihara
keseimbangan
cairan (1 – 5)
(menunjukkan)
Mampu mengontrol
asupan makanan
secara adekuat (1 –
5) (menunjukkan)
d. Manajemen gangguan makan
e. Manajemen nutrisi
f. Terapi nutrisi
g. Konseling nutrisi
h. Kontroling nutrisi
i. Terapi menelan
j. Monitoring tanda vital
k. Bantuan untuk peningkatan BB
l. Manajemen berat badan
Keterangan :
Untuk intervensi secara kronologi dapat dilihat dari
aktifitas tindakan yang dapat anda
temukan dalam buku Nursing Intervention Classification (NIC)
dan Nursing Outcome
Classification (NOC)