Rabu, 08 Januari 2014

Konsep pengetahuan


1.      Definisi pengetahuan
               Pengetahuan atau kognitif  “merupakan hasil dari tahu setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Terbentuknya suatu perilaku baru, terutama pada orang dewasa dimulai pada domain kognitif, dalam arti si subyek tahu terlebih dahulu terhadap stimulus yang berupa materi atau obyek diluarnya sehingga menimbulkan pengetahuan baru pada subyek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin dalam bentuk sikap si subyek terhadap obyek yang di ketahuinya itu. Akhirnya rangsangan yang telah diketaui dan disadari sepenuhnya akan menimbulkan respon lebih jauh berupa tindakan (action) terhadap stimulus. Namun demikian dalam kenyataannya stimulus yang diterima oleh subyek dapat langsung menimbulkan tindakan . Artinya, seseorang dapat bertindak atau berperilaku baru tanpa terlebih dahulu mengetahui makna dari stimulus yang diterimanya. Dengan kata lain tindakan (practice) seseorang tidak harus didasari oleh pengetahuan atau sikap.5
2.      Tingkatan Pengetahuan
    Menurut Soekidjo Notoatmojo pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkataan, yaitu:
 a.    Tahu (Know)
            Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk didalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali ( recall ) terhadap suatu yang  spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan sebagainya.
b.    Memahami  (Comprehension)
            Memaham diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut dengan benar. Orang yang telah paham terhadap obyek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap obyek yang dipelajari.
c.    Aplikasi (Aplication)
            Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum – hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d.   Analisis (Analisis)
            Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu obyek ke dalam komponen – komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut , dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya.
e.    Sintesis (Synthesis)
            Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian – bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi – formulasi yang ada.
f.     Evaluasi (Evaluation)
             Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian – penilain itu Berdasarkan suatu criteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria – kriteria  yang ada
               Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita sesuaikan dengan tingkat – tingkat tersebut diatas.
3.      Faktor – factor yang mempengaruhi pengetahuan
Menurut ida Bagus Tjitarda “ pengetahuan “ dipengaruhi oleh pengalaman dan informasi’.
 a.      Pengalaman
Pengalaman yang didapat oleh seseorang terutama berasal dari pengalaman dan menerima pelayanan kesehatan oleh petugas.
                  b.      Informasi
Informasi ini berasal dari guru, orang tua, teman, surat kabar. Pengalaman dan pendidikan perempuan semenjak akan mempengaruhi sikap dan penampilan.

Toilet training

A.        Konsep Toilet Training
1.      Definisi

Ada banyak  hal yang menyertai pertumbuhan seorang anak terutama dalam tiga
tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung sangat
pesat pada lima tahu pertama kehidupan anak. Proses ini mencakup
perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku. Seringkali dalam membesarkan
anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir untuk menyelesaikan semua
pendidikan anak secepat mungkin, baik itu berbicara, berjalan, bahkan
menggunakan toilet. Sebenarnya semua hal tersebut merupakan langkah
perkembangan normal yang prosesnya tidak perlu terburu-buru (Gilbert, 2003).
Menyesuaikan pemberian latihan dengan usia anak adalah hal yang wajib
diperhatikan. Demikian  pula dengan  toilet training, di mana orangtua/pengasuh
mengajarkan cara-cara buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB) di toilet
pada anak. Selain itu perlu diperhatikan  teknik pelaksanaan dan sikap orangtua.
Berhasil atau tidaknya fase toilet training ini sangat berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya dari seorang anak yaitu kemampuan mengendalikan
perkemihan dan pencernaan (Rugolotto, 2004).
Toilet training merupakan metode pelatihan buang air untuk balita atau metode yang diberikan kepada balita agar membuang air besar atau kecil di toilet atau kamar mandi. Selain memberikan training, orang tua juga harus belajar memperhatikan sinyal si balita jika dia memang benar-benar mau BAB atau BAK. Anak yang sudah diajarkan teknik toilet training, maka balita akan mulai mempunyai kesadaran terhadap diri sendiri. Mereka mencari cara untuk menguji keterbatasan mereka dengan cara menahan keinginan BAB atau BAKnya. Biarkan si balita mempelajari dan memperhatikan anda menggunakan toilet dan ketika balita mulai bertanya dan ikutan masuk ke dalam toilet, buatlah agar si balita merasa nyaman dan mulai untuk menjelaskan fungsi dan cara-cara penggunaanya. Berilah contoh padanya, karena balita akan memulai untuk menirukan orang tuanya.
2.1.1. Definisi Toilet Training
Toilet training adalah upaya pelatihan kontrol BAK dan BAB anak yang masing masing
dilakukan oleh sistem perkemihan dan defekasi. Seorang anak dikatakan
sedang menjalani toilet training bila ia diajarkan untuk datang ke toilet saat ingin
BAK atau BAB, membuka pakaian seperlunya, melakukan miksi atau defekasi,
membersihkan kembali dirinya, dan memakai kembali pakaian yang dilepaskan.
Penguasaan anak terhadap kemampuan miksi dan defekasi terkontrol ini bisa
simultan maupun berkala/bertahap. Kontrol perkemihan biasanya lebih mudah
dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari sering terjadi kegagalan.
Kegagalan ini akan terkompensasi setelah beberapa tahun. Toilet training
dilakukan dalam dua minggu sampai dua bulan (Schmitt, 1991).
2.1.2. Tujuan Toilet Training
Dalam Warta Warga (2007), tujuan dari pengajaran toilet training adalah
mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau BAK. Hal
ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia dituntut secara
sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK pada tempatnya, yaitu toilet.
2.1.3. Keuntungan Dilakukannya Toilet Training
Toilet training dapat menimbulkan kemampuan anak dalam mengontrol miksi dan
defekasi. Seorang anak yang telah berhasil menjalani toilet training memiliki
kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAB atau BAK. Selain itu
keuntungan pelaksanaan toilet training pada anak adalah:
1. Toilet training menjadi awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata
sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB atau BAK.
2. Toilet training membuat anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta
fungsinya (Warga, 2007).
 2.1.4. Cara Pelaksanaan Toilet Training
Proses toilet training harus dilakukan dengan cara menawarkan bantuan, tetap
sabar, dan  menciptakan keadaan yang menyenangkan. Hindari timbulnya
perasaan tertekan pada anak dan jangan berikan hukuman jika gagal. Anak harus
merasakan dirinya mampu melakukan BAB atau BAK dan bisa
mengendalikannya. Pelaksanaan toilet training dilakukan teknik sebagai berikut:
1. Teknik lisan
Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi berupa kata-kata
sebelum dan sesudah BAK dan BAB. Cara ini harus dilakukan dengan benar
sehingga mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan rangsangan
untuk BAB atau BAK. Kemampuan anak melakukan BAB atau BAK
memerlukan kesiapan psikologis yang matang.
 2. Teknik Modelling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan BAK dan BAB dengan cara
memberikan contoh dan meminta anak menirukannya. Selain itu juga dapat
dilakukan dengan membiasakan anak BAB atau BAK dengan cara
mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot. Dalam memberikan contoh
orangtua harus melakukannya dengan benar. Selain itu perlu diperhatikan
ketepatan waktu saat memberikan contoh toilet training, serta
mengkondusifkan suasana dengan memberikan pujian saat anak berhasil dan
tidak marah saat anak gagal melakukan BAB atau BAK dengan benar (Warga,
2007).
 2.1.5. Tahap Pelaksanaan Toilet Training
Tahapan yang akan dilalui anak dalam melakukan toilet training adalah sebagai berikut (Mahoney, 1971):
1. Mengenal tanda-tanda urgensi BAB atau BAK.
2. Bergerak dengan kesadaran sendiri menuju toilet.
3. Menanggalkan pakaian secukupnya untuk membebaskan organ kemihnya.
4. Melakukan BAB atau BAK.
5. Membersihkan diri dan menggunakan kembali pakaiannya.
2.1.6. Faktor Pendukung Toilet Training
Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahami cara menggunakan perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu, apabila dilakukan pengalihan dari penggunaan popok ke penggunaan toilet, terlebih dahulu
dilakukan  dengan alat bantu berupa toilet mini (Gilbert, 2003):
1. Peragakan cara penggunaan toilet. Kemudian anak dibiasakan untuk duduk di toilet dengan menggunakan popok saat akan BAB atau BAK. Sehingga setelah tiba waktunya untuk menggunakan toilet, anak sudah mengenal toilet dan cukup paham mengenai cara penggunaannya.
2. Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah dan tempat-tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan berdasarkan tinggi dan berat badan orang dewasa. Maka ada kecenderungan bahwa toilet berukuran jauh lebih besar dari yang dibutuhkan anak. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan penyangga, kursi toilet, maupun mengganti dudukan toilet menjadi ukuran yang sesuai dengan anak.
3. Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai panjatan anak menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat duduk di toilet. Hal ini menjaga keamanan anak jika sedang tidak diawasi dan perasaan mengendalikan diri sendiri yang dimiliki seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangannya saat BAB atau BAK, ada kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya sebagai tumpuan pada toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan antikuman. Selain itu anak harus dibiasakan untuk
mencuci tangan dan berdiri dengan pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belum siap atau masih ketakutan menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak optimalnya pelatihan toilet tersebut. Pada keadaan ini, gunakan toilet mini sebagai alternatif pilihan.
Dalam rangka memudahkan anak untuk belajar, maka dibutuhkan beberapa
intervensi. Untuk pelaksanaan toilet training yang optimal maka diperlukan:
1. Membeli peralatan yang dibutuhkan
a. Kursi atau papan toilet yang digunakan untuk tempat naik dan menyangga kaki anak saat sedang BAB/BAK. Hal ini akan menjaga anak tetap menjejakkan kaki ke lantai sehingga menimbulkan kepercayaan diri anak dan perasaan aman. Selain itu, alat ini juga memungkinkan anak untuk turun sendiri tanpa bantuan.
b. Makanan atau cemilan kesukaan anak untuk dijadikan hadiah atas keberhasilannya BAB atau BAK di toilet.
c. Diagram atau tabel pelaksanaan toilet training, serta penanda jumlah keberhasilan.
2. Membuat posisi anak pada kursi toilet senyaman mungkin seperti yang
Diinginkannya. Untuk mengoptimalkan keberhasilan toilet training, maka sebaiknya kursi
toilet yang digunakan sudah familiar bagi anak. Hal ini akan membantunya beradaptasi saat dihadapkan dengan toilet yang sebenarnya atau aktual.
3. Rangsang anak untuk bergerak cepat menuju toilet
Lakukan rangsangan gerakan cepat berupa upaya berlari saat anak
menunjukkan tanda-tanda ingin BAK atau BAB. Semangati anak dengan katakata
ataupun kalimat yang bisa dimengerti olehnya. Biarkan anak bergerak  sesuka hatinya saat di toilet dan jangan paksakan anak untuk tetap berada di toilet.Hindari penggunaan tenaga dan kekerasan untuk mempertahankan keberhasilan. Meskipun anak kelihatan menyenangi toiletnya, usahakan agar kegiatan selesai dalam 5 menit dan keluarkan anak dari toilet.
 4. Berikan selamat ataupun hadiah jika anak mampu menyelesaikan BAB atau BAK dengan baik Setiap keberhasilan dan pencapaian dalam pelatihan toilet ini sebaiknya diberikan penghargaan ataupun hadiah. Bisa dengan ciuman dan pelukan, maupun dengan  emberikan makanan atau cemilan tertentu. Pencapaian-pencapaian besar seperti mampu melaksanakan keseluruhan rangkaian BAB atau BAK di toilet tanpa bantuan dan atas kesadaran sendiri, bisa diberikan hadiah yang lebih bermakna (Beaty, 1994).
5. Apabila anak gagal menuntaskan BAB atau BAK dengan baik sehingga celananya basah atau kotor, maka lakukan peringatan secara verbal dengan menggunakan kalimat yang suportif dan persuasif. Hindari penggunaan intervensi kekuatan dan fisik, kata-kata kasar, dan teriakan karena akan membuat anak merasa gagal dan bisa menjadi tidak kooperatif. Jangan berlama-lama membiarkan anak dalam keadaan kotor atau basah.
6. Apabila anak sudah mampu menggunakan toilet dengan baik dan cukup kooperatif dalam pelaksanaannya, penggunan popok bisa diganti dengan celana dalam. Hal ini akan membantu mempercepat kesuksesan pelatihan. 
Popok hanya digunakan di malam hari atau saat tidur. Pelatihan dianggap sukses dan memadai jika anak telah mampu pergi ke toilet atas inisiatif sendiri dan mampu menyelesaikannya dengan baik. Pelatihan  ini dilakukan selama 2 minggu sampai 2 bulan. Semakin lama pelatihan berlangsung, upaya 3 dan 4 dapat dikurangi (Schmitt, 1991).
Toilet training merupakan suatu peralihan atau perubahan dari penggunaan popok menjadi penggunaan toilet pada seorang anak. Di antara kedua fase ini, ada sebuah cara alternatif yang bisa digunakan untuk memudahkan proses toilet training, yaitu penggunaan toilet mini. Toilet mini adalah peralatan yang
disiapkan untuk tempat menampung BAB atau BAK anak dan bersifat portabel (bisa dipindahkan). Prinsip penggunaan toilet mini pada toilet training adalah untuk memperpendek jarak yang harus ditempuh seorang anak untuk melakukan BAB atau BAK (Gilbert, 2003).
 2.1.7. Faktor Penghambat Toilet Training
Menurut Government of South Australia (1999), faktor yang menghambat
pelatihan toilet adalah sebagai berikut:
1. Upaya toilet training dilakukan terlalu dini.
2. Orangtua telah menetapkan standar waktu pelaksanaan tanpa memperhatikan perkembangan anak.
3. Tekanan dari lingkungan atau orang lain untuk memaksakan pelatihan.
4. Orangtua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami toilet training sesegera mungkin untuk membuktikan keberhasilan pendidikan dan menunjukkan keunggulan si anak.
5. Perselisihan antara anak dan orangtua dalam menjalani toilet training.
6. Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan proses BAB atau BAK di toilet dengan baik.
7. Adanya faktor stres pada kehidupan anak.
8. Adanya gangguan fisik atau organik pada anak, misalnya kerusakan sistem kemih ataupun sistem pencernaan sehingga menyebabkan gangguan fisiologis berkemih dan defekasi. Hal ini tampak apabila anak terlalu sering BAB atau BAK, BAB atau BAK mengandung darah, ataupun nyeri saat berkemih atau defekasi.
 Sedangkan menurut De Bord (1997), penghambat dalam toilet training adalah sebagai berikut:
1. Memaksakan anak untuk duduk di toilet.
2. Bereaksi terlalu keras terhadap kesalahan anak.
3. Menggunakan obat-obatan untuk mempercepat BAB atau BAK.
 2.1.8. Kriteria Anak yang Telah Siap untuk Diajarkan Toilet Training
Toilet training tidak boleh dilakukan sebelum anak siap. Kesiapan anak itu sendiri
tergantung pada konsep dan kemampuan yang diajarkan sejak anak berusia 12
bulan. Salah satu stimulus yang sangat membantu adalah membacakan buku
tentang usaha BAK atau BAB mandiri kepada anak. Toilet training dapat dimulai
saat usia anak berkisar antara 18 sampai 30 bulan. Sebagian besar anak mulai
toilet training pada usia 24 bulan, sebagian kecil pada 18 bulan. Pada usia 3
tahun, anak akan mampu belajar untuk toilet training sendiri tanpa bantuan.
Beberapa tahapan perkembangan kemampuan dan perubahan fisiologis
anak dibutuhkan untuk toilet training. Hal tersebut antara lain (Gilbert, 2003):
1. Anak telah mampu menyadari bahwa pakaian atau popok yang digunakannya
kotor atau basah. Hal ini mulai terjadi pada usia 15 bulan.
2. Anak telah mampu membedakan BAB dengan BAK, serta mampu
memberitahukan kepada pengasuh bila mengalami urgensi BAB atau BAK.
Hal ini mulai terjadi pada usia 18-24 bulan.
3. Anak mampu memberitahu terlebih dahulu jika ia ingin BAB atau BAK dalam
interval waktu yang cukup untuk pengasuh mengantarkannya ke toilet.
4. Anak mampu melakukan kontrol terhadap kandung kemih dan mampu
menahan keinginan BAB atau BAK selama beberapa saat.
Berikut adalah tanda-tanda anak yang sudah siap diajarkan toilet training:
1. Anak telah diajarkan dan mengerti makna kata-kata “pipis” atau ”kencing”
(BAK), “eek” atau ”beol” (BAB), “bersih”,”jorok”, “basah”, “kering”, dan
“kamar mandi atau toilet” (Schmit, 1991).
2. Anak telah mengerti kegunaan toilet. Hal ini diajarkan dengan memberikan
peragaan atau contoh kepada anak (Schmit, 1991).
3. Anak cenderung memilih dan menyukai popok yang bersih dan kering. Hal ini
diajarkan dengan menstimulasi anak dengan mengganti popok jika sudah
basah atau kotor (Schmit, 1991).
4. Anak menyukai perubahan atau pelajaran perkembangan kemampuan. Hal ini
diajarkan dengan mengubah metode mengganti popok dari aktif menjadi pasif
(menunggu anak sadar dan datang untuk diganti popoknya) (Schmit, 1991).
5. Anak mengerti hubungan antara kebersihan dan kekeringan pada popok
dengan penggunaan toilet (Schmit, 1991).
6. Anak mengetahui perasaan ingin atau urgensi BAK atau BAB. Hal ini ditandai
dengan berjongkok, memegang alat kelaminnya, meloncat-loncat panik, atau
memberitahu kepada seseorang yang bisa membantunya (Gilbert, 2003).
7. Anak dapat menahan dan menunda urgensi BAK atau BAB untuk sementara waktu (Gilbert, 2003).
8. Anak bersifat optimis dan ingin mandiri, hal ini dapat dilihat dari sikap dan kecenderungan untuk berkata “aku bisa” (Gilbert, 2003).
9. Anak telah memiliki waktu atau jadwal BAB atau BAK yang teratur (Gilbert, 2003).
10. Anak telah mengerti kata-kata dan mampu mengerjakan instruksi sederhana (Gilbert, 2003).
11. Anak  mampu berjalan dan duduk di atas toilet (Ferrer-Chancy, 2000).
12. Anak mampu membedakan BAB dengan BAK (Ferrer-Chancy, 2000).
 2.1.9. Aspek Psikologis Toilet Training
Menurut Freud (1923) dalam Papalia (2003), toilet training dilakukan pada masa
anal perkembangan psikologis anak. Banyak psikolog terkemuka yang berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting perkembangan psikologis seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan pada kondisi dimana keadaan fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan dengan faktor lingkungan dan sosial. Fase ini merupakan fase yang tepat untuk mengajarkan anak untuk menahan kebutuhan biologis misalnya BAB atau BAK. Hal ini  penting untuk menyesuaikan perkembangannya dengan faktor lingkungan, yaitu menjaga kebersihan dan faktor sosial, yaitu ajaran orangtua atau pengasuh. Usia 18 bulan sampai 3 tahun  merupakan saat di mana anak mengalami konflik autonomy versus shame and doubt, yaitu mulai mengetahui tentang kapabilitas dirinya dan membentuk zona pribadi miliknya. Mereka ingin memilih apa yang dilakukan dan didapatkan sendiri. Konflik akan terselesaikan jika orangtua mampu memberikan arahan yang baik dan pilihan-pilihan bijak. Freud (1923) dalam Papalia (2003) mengidentifikasikan toilet training sebagai salah
satu momen yang menentukan kesehatan psikologis seseorang pada fase
perkembangan ini. Perilaku orangtua saat pelatihan mempengaruhi aspek ini.
Seorang anak berusia dua tahun, seharusnya sudah mampu menjalani toilet
training,  makan dengan menggunakan sendok dan merapikan mainannya setelah
bermain. Peran orangtua dalam pelatihan hanya mengontrol dan memberikan
dukungan saja. Hal ini akan mengembangkan kemampuan toleransi diri dan
pengertian. Menurut Erikson (1992) dalam Berk (1998), orangtua yang terlalu ikut
campur dalam perkembangan kemampuan anaknya akan membuat anak
kehilangan beberapa momen yang menentukan aspek-aspek hidupnya. Anak bisa
berkembang menjadi pribadi yang penakut dan pemalu, tidak mampu menentukan
pilihan, merasa tertekan, dan tidak mampu mengendalikan diri.
 2.1.10. Permasalahan pada Kegagalan Toilet Training
Kegagalan pada toilet training akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut:
1. Inkontinensia urin berkepanjangan, terutama pada anak dengan retardasi mental (Azrin, 1971).
2. Enkopresis, yaitu gangguan pengeluaran feses pada tempat yang tidak sesuai (bukan di toilet) dan terjadi berulang kali (Gelfand, 2003).
3. Enuresis, yaitu gangguan ngompol (pengeluaran urin bukan pada tempatnya)
pada anak tanpa kelainan fisik dan usia yang sudah tepat untuk diajarkan toilet training (Gelfand, 2003).
4. Gangguan perkembangan anak (Berk, 1998).
 2.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Usia anak prasekolah (1-5 tahun) merupakan masa di mana perubahan
pertumbuhan dan perkembangan terjadi begitu cepat dan menjadi masa yang
sangat menantang bagi orangtua dan ahli pediatrik. Kemampuan yang sangat
berkembang adalah kemampuan berbahasa dan interpersonal. Hal ini termasuk
dalam konsep pertumbuhan dan perkembangan anak, yang mencakup afektif, motorik, kognitif, dan pertumbuhan fisik.
 Perkembangan afektif anak pada usia prasekolah antara lain adalah
keinginan mandiri dan bebas dari pengasuhan, kebutuhan dan kepentingan untuk
berhubungan dengan anggota keluarga, dan usaha awal untuk pengendalian diri
dari kegiatan yang bersifat instingtif. Selain itu, dalam perkembangan afektif juga
dinilai perubahan sikap atau perilaku, temperamen, dan sebagainya dalam
interaksi sosial. Secara kognitif, perubahan yang terjadi adalah pengembangan
pola pikir preoperational dari sensorimotor. Karakteristiknya antara lain adalah
penggunaan bahasa dalam berinteraksi dan upaya berpura-pura dan meniru. Anak
pada usia ini hanya memahami sedikit kata-kata dan bergantung pada kemampuan
motoriknya untuk memanipulasi lingkungan. Sebagai perbandingan, seorang anak
usia 3 tahun mampu berbicara dalam bentuk kalimat, berinteraksi dengan
berbicara, dan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu. Pertumbuhan
fisik berjalan lebih lambat daripada fase bayi (infantil). Sebagai gantinya,
kemampuan motorik kasar dan halus berkembang dengan cepat. Anak pada usia
prasekolah ini mulai belajar untuk berjalan, kemudian berlari dan meloncat.
 2.2.1. Pertumbuhan Anak
Setelah pertumbuhan yang cepat pada masa bayi, kecepatan pertumbuhan
berkurang pada masa prasekolah. Setelah usia dua tahun, anak memperoleh berat
badan 2-3 kg dan 6-10 cm tinggi badan setiap tahunnya. Lingkar kepala hanya
sedikit bertambah yaitu sekitar 3 cm sampai usia 12 tahun. Pertumbuhan tidak
meningkat secara konstan. Anak biasanya tidak mengalami kenaikan dan penurunan berat badan yang teratur.
 Peningkatan tinggi badan pada usia prasekolah biasanya akibat pertambahan panjang ekstremitas. Proporsi tubuh berubah, dari rasio atas-bawah 1,40 pada usia 2 tahun menjadi 1,15-1,20 pada 5 tahun. Dengan bentuk tubuh yang berubah, maka memerlukan penyesuaian postur, yang apabila gagal akan
menimbulkan lordosis dan protuberan abdomen. Pertumbuhan ekstremitas bawah
biasanya disertai dengan torsi tibia dan pembengkokan tungkai, yang bisa sembuh
sendiri pada usia 3 tahun. Persentase lemak tubuh menurun dari 22% pada usia 1
tahun menjadi 12,5-15% pada usia 5 tahun. Pada akhir masa prasekolah,
peningkatan tonus otot dan penurunan lemak tubuh membuat penampilan anak
menjadi lebih kurus dan berotot (Colson, 1997).
 2.2.2. Perkembangan Anak
Menurut Colson (1997), perkembangan kemampuan anak yang terjadi pada usia 0-5 tahun adalah sebagai berikut:
1. Gross Motor Abilities
Pada usia kira-kira 2 tahun, pertumbuhan anak sudah memungkinkan kaki
untuk berjalan seperti dewasa. Setelah 36 bulan, anak telah mengembangkan
keseimbangan tubuh dan mampu berdiri dengan satu kaki secara stabil. Anak
biasanya tertarik dan senang akan kemampuan baru mereka, dan akan mencari
tahu apalagi yang bisa ia lakukan. Perkembangan selanjutnya adalah
kemampuan untuk meloncat dan berlari. Dalam hal ini dibutuhkan pengawasan
untuk mencegah terjadinya luka dan kecelekaan karena anak-anak sering
berusaha mencari tahu batas kemampuan mereka  di luar batas kemampuannya
dan hal tersebut bisa berbahaya terhadap diri sendiri.
2. Fine Motor Abilities
Perkembangan dari segi gerakan halus terjadi pada kemampuan untuk
menggapai, menggenggam, dan memanipulasi benda-benda kecil. Pada usia 18
bulan, anak sudah mampu menyusun balok sebanyak 4 buah. Setahun
kemudian, dengan latihan dan perkembangan kontrol dirinya, ia akan mampu
menyusun sampai delapan balok. Banyak anak pada usia 18 bulan yang
menyenangi eksplorasi terhadap warna, misalnya dengan krayon. Apabila
memungkinkan, ia akan menggenggam alat tersebut dan menggoreskannya di
berbagai tempat. Dalam 1,5 tahun kemudian, anak akan mampu menggenggam
krayon tersebut dengan dua jari saja, dan menggambar sebuah lingkaran. Pada
usia 3 tahun, si anak mulai dapat menggambar hal-hal sederhana.
3. Autonomy and Independence
Seiring berkembangnya kemampuan motorik anak, muncullah dorongan untuk
bebas dari pengasuhan dan kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri.
Anak menjumpai dan menyadari kondisi dimana ia bisa bergerak tanpa bantuan
orangtua atau pengasuh, dan mulai mencari tahu batasan dari hal tersebut.
Keinginan untuk mendapatkan otonomi bisa muncul setiap hari, misalnya
dengan menolak untuk makan kecuali ia diperbolehkan untuk melakukan hal
tersebut sendiri. Selain itu, anak juga tidak mau mencoba jenis makanan baru,
kecuali ketertarikan atas makanan yang dikonsumsi orang lain. Gambaran yang
paling sering muncul pada anak adalah temper tantrum. Anak mulai bertingkah
memberontak dan ingin mengendalikan kegiatan sehari-harinya tanpa campur
tangan orangtua. Apabila tidak dikabulkan, maka ia bisa menangis, memukul,
ataupun marah-marah. 
4. Control and Self Impulse
Anak juga mulai mampu mengendalikan diri, yang bisa dikatakan sebagai
proses “menjadi teratur”. Pada usia 18 bulan, anak akan memiliki kontrol
minimum dan tetap memperlihatkan beberapa kali temper tantrum dalam
sehari. Pada usia dua tahun biasanya mampu mengendalikan impuls dengan
derajat yang berbeda-beda. Pada usia 3 tahun anak sudah mampu melakukan
pengendalian diri, sebagian karena mereka juga sedang belajar untuk menahan
penyampaian pendapat atau memendam perasaan. Pada saat ini mereka akan
belajar bahwa terkadang kita harus menunggu untuk mencapai sebuah tujuan.
Kemampuan-kemampuan ini sangat penting didapatkan menjelang toilet
training. Keberhasilan toilet training bisa dilihat pada akhir usia 3 tahun. Pada
usia ini, dibutuhkan kemampuan fisik yaitu kemampuan untuk berjalan dan
menahan urgensi BAB atau BAK, dan kemampuan emosional, yaitu keinginan
untuk BAB atau BAK pada tempatnya. Meskipun toilet training sudah diajarkan
 pada usia dini, namun pencapaian keberhasilan tidak mengompol lagi baru bisa
terjadi umumnya pada usia 2,5 tahun  (Colson, 1997).
         Karena dengan    salah    satu    cara   ini mungkin orang tua akan lebih berhasil dalam semua proses ini. Jika orang tua bisa terjun langsung membimbing si buah hati dan berilah cukup waktu untuk menemaninya dalam menjalani proses ini.
2.      Tanda-tanda kesiapan si kecil untuk mulai training
a.       Anak tidak mengompol minimal 2 jam saat siang hari atau setelah tidur siang.
b.      BAB menjadi teratur dan dapat diprediksi.
c.       Ekspresi wajah, postur tubuh dan kata yang menunjukkan keinginan BAB atau BAK.
d.      Anak sudah dapat mengikuti perintah-perintah sederhana.
e.       Anak dapat berjalan dari dan ke kamar mandi serta membantu melepas pakaian.
f.       Anak nampak tidak nyaman dengan popok yang kotor dan ingin dig anti.
g.      Anak meminta menggunakan toilet atau pot.
h.      Anak meminta menggunakan pakaian dalam seperti anak yang lebih besar.
3.      Saat mengenalkan toilet training pada balita
a.       Umur anak antara usia 18 bulan sampai dengan 3 tahun sebelum mereka cukup dewasa untuk pergi sendiri ke toilet.
b.      Perlu di ingat bahwa toilet training adalah pengetahuan baru untuk anak balita anda.
c.       Pujilah setiap keberhasilan kecil dan tetap tenang jika terjadi kecelakaan.
d.      Berikan pelatihan buang air (toilet training) dengan rasa humor yang tinggi.
e.       Adanya kesabaran yang tak terbatas. 
4.      Tanda-tanda kesiapan balita untuk melakukan toilet training
a.       Tanda psikologis
1)          Anak anda sudah berjalan, berlari dengan stabil.
2)          Urine yang ia keluarkan banyaknya kurang lebih sama setiap ia pipis.
3)          Waktu buang air besar atau kecil sudah dapat diprediksikan secara regular atau rutin.
4)          Memiliki waktu “kering” periodenya antara 3 atau 4 jam, dimana otot kandung kemih balita anda sudah dapat menahan urine secara baik.
b.      Tanda dari prilaku
1)      Dapat duduk dengan tenang kurang lebih 2 sampai 5 menit
2)      Sudah dapat menaikkan dan menurunkan celananya sendiri
3)      Sudah merasa tidak nyaman jika mengenakan diaper yang terasa basah atau kotor.
4)      Menunjukkan perhatian terhadap kebiasaan ke kamar mandi seperti mengikuti anda ke kamar mandi dengan mengenakan pakaian dalam.
5)      Sudah dapat memberi tahu anda jika dirinya ingin buang air kecil atau juga BAB.
6)      Sudah ingin menunjukkan kemandirian.
7)      Merasa sangat senang jika ia bisa melakukanya dengan baik apa yang bisa ia lakukan sendiri.
8)      Tidak menolak dan dapat bekerja sama saat anda mengenalkannya pada toilet training. 
c.       Tanda kognitif
1)      Bisa mengikuti dan menuruti instruksi anda seperti “tolong ambilkan mainan itu”
2)      Memiliki bahasa sendiri tentang “dunia toilet” seperti “Pee” dan Popup.
3)      Sudah mengerti tentang reaksi tubuhnya jika ingin buang air kecil atau besar dan dapat memberitahu anda sebelum terjadi.
5.      Tips memulai toilet training agar berhasil
a.       Gunakan kursi jamban di lantai
Kursi jamban lebih aman bagi balita, karena kakinya menampak lantai, sehingga orantua tidak perlu khawatir si kecil terjatuh.
Jika memutuskan meletakkan kursi jamban diatas tablet, gunakan sandaran kaki untuk si balita.
b.      Anak harus diperbolehkan menggunakan kursi jambanya untuk mainan duduk diatasnya dengan pakaian lengkap dan bagian bawah terbuka, dengan cara itulah dia bisa membiasakan diri menggunakan kursi jambanya.
c.       Jangan mengikat si balita di kursi jamban.
d.      Awali dulu dengan dengan latihan BAB
Sebab balita lebih bisa belajar pergi ke kursi jamban untuk BAB sebelum BAK.
e.       Gunakan kata-kata khusus untuk BAB dan BAK
Misalnya pipis dan BAB, dengan begitu si balita akan menghapal dan menggunakanya untuk memberitahu saat ia ingin BAK dan BAB.
f.       Hindari menggunakan kata-kata negatif
Seperti kotor, nakal, busuk/pesing untuk istilah yang terkecil dengan BAB/BAK juga digunakan nada yang biasa saat bicara tentang BAB/BAK.
g.      Tenang saja jika si balita turun dari kursi jamban sebelum BAB/BAK 
Jangan tunjukkan kejengkelan, coba lagi nanti jika berhasil menggunakan kursi jambannya dengan benar, berikan pujian/hadiah dalam bentuk senyuman, peluk atau tepuk tangan pelan.
h.      Anak-anak belajar dari meniru
Akan membantu jika balita duduk di kursi jambanya saat anda menggunakan toilet.
i.        Balita sering mengikuti orantua ke kamar mandi
Ini mungkin tanda bahwa balita sudah mau menggunakan jamban kursinya.
j.        Sejak awal, ajari si balita BAK sambil duduk atau jongkok.
Sebab, sulit bagi balita untuk mengendalikan otot-otot sistem perkemihan dengan berdiri.
6.      Ada 4 aspek dalam pra – toilet training yaitu:
a.       Menyebutkan istilah untuk BAB dan BAK
Misalnya menyebutkan kata pipis untuk BAK dan eek atau pup untuk BAB.
b.      Memberi kesempatan melihat orang lain memakai toilet
Ini memungkinkan si kecil melihat, mengajukan pertanyaan dan belajar cara menggunakan toilet.
c.       Mengajari mengganti celana
Ganti celana balita secepatnya jika basah karena ompol atau kotoran. Dengan begitu, ia akan merasa sirih bila memakai celana basah atai kotor. Tapi jangan dimarahi atau mengomeli si balita kalau ia mengompol atau BAB di celana.
7.      Tahapan toilet training
a.       Ajarkan anak untuk memberikan anda bila ingin BAB atau BAK
Balita seringkali memberitahu anda pada saat dia sudah mengompol atau BAB ini merupakan tanda bahwa ia mulai mengenal fungsi tubuhnya, ajarkan balita agar lain kali memberi tahu anak anda sebelum BAK atau BAB.
b.      Tumbuhkan rasa tertarik dengan aktivitas di kamar mandi.
Sesekali biarkan ia memperhatiakn orantuanya pergi ke kamar mandi, sehingga ia memiliki keinginan yang sama.
c.       Tunjukan cara cebok (membasuh) yang benar
Untuk balita perempuan sebaiknya membersihkan dari depan ke belakang untuk mencegah penyebaran kuman dari rectum ke vagina / kandung kemih.
d.      Ketika si balita sudah siap, anda sebaiknya memilih pot (potty chair) untuk BAK/BAB pot lebih mudah digunakan untuk balita, karena pendek sehingga balita tidak sulit untuk duduk diatasnya dan kaki anak dapat mencapai lantai.
e.       Ketika balita tampak ingin BAB/BAK, pergilah ke pot.
Biarkan anak duduk di pot beberapa menit, jelaskan bahwa anda ingin BAB/BAK siditu. Bergembiralah, jangan memperlihatkan ketegangan. Jika ia protes jang memaksa, mungkin balita belum saatnya untuk memulai toilet training.
f.       Latih balita menggunakan pot secara rutin
Misalnya menjadi kegiatan pertama di pagi hari ketika balita bangun setelah makan atau sebelum tidur siang.
g.      Si balita akan menunjukkan pada anda jika dia sudah siap pindah dari pot ke toilet sesungguhnya. Pastikan ia cukup tinggi dan latihlah tahap demi tahap bersama. 

  (Majelis ke 2) FAQIR (Fathur-Rabbany) بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ   اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورس...