tahun pertama kehidupan. Pertumbuhan dan perkembangan berlangsung
sangat
pesat pada lima tahu pertama kehidupan anak. Proses ini mencakup
perkembangan kemampuan kognitif dan perilaku. Seringkali dalam
membesarkan
anak, para orangtua terjebak dalam pola pikir untuk menyelesaikan
semua
pendidikan anak secepat mungkin, baik itu berbicara, berjalan, bahkan
menggunakan toilet. Sebenarnya semua hal tersebut merupakan
langkah
perkembangan normal yang prosesnya tidak perlu terburu-buru
(Gilbert, 2003).
Menyesuaikan pemberian latihan dengan usia anak adalah hal yang
wajib
diperhatikan. Demikian pula
dengan toilet training, di mana
orangtua/pengasuh
mengajarkan cara-cara buang air kecil (BAK) dan buang air besar
(BAB) di toilet
pada anak. Selain itu perlu diperhatikan teknik pelaksanaan dan sikap orangtua.
Berhasil atau tidaknya fase toilet training ini sangat
berpengaruh terhadap
perkembangan selanjutnya dari seorang anak yaitu kemampuan
mengendalikan
perkemihan dan pencernaan (Rugolotto, 2004).
Toilet training merupakan metode pelatihan buang air untuk balita atau metode yang diberikan kepada balita agar membuang air besar atau kecil di toilet atau kamar mandi. Selain memberikan training, orang tua juga harus belajar memperhatikan sinyal si balita jika dia memang benar-benar mau BAB atau BAK. Anak yang sudah diajarkan teknik toilet training, maka balita akan mulai mempunyai kesadaran terhadap diri sendiri. Mereka mencari cara untuk menguji keterbatasan mereka dengan cara menahan keinginan BAB atau BAKnya. Biarkan si balita mempelajari dan memperhatikan anda menggunakan toilet dan ketika balita mulai bertanya dan ikutan masuk ke dalam toilet, buatlah agar si balita merasa nyaman dan mulai untuk menjelaskan fungsi dan cara-cara penggunaanya. Berilah contoh padanya, karena balita akan memulai untuk menirukan orang tuanya.
2.1.1. Definisi Toilet Training
Toilet training adalah
upaya pelatihan kontrol BAK dan BAB anak yang masing masing
dilakukan oleh sistem perkemihan dan defekasi. Seorang anak dikatakan
sedang menjalani toilet training bila ia diajarkan untuk
datang ke toilet saat ingin
BAK atau BAB, membuka pakaian seperlunya, melakukan miksi atau
defekasi,
membersihkan kembali dirinya, dan memakai kembali pakaian yang
dilepaskan.
Penguasaan anak terhadap kemampuan miksi dan defekasi terkontrol
ini bisa
simultan maupun berkala/bertahap. Kontrol perkemihan biasanya
lebih mudah
dilakukan pada siang hari, sedangkan pada malam hari sering
terjadi kegagalan.
Kegagalan ini akan terkompensasi setelah beberapa tahun. Toilet
training
dilakukan dalam dua minggu sampai dua bulan (Schmitt, 1991).
2.1.2. Tujuan Toilet Training
Dalam Warta Warga (2007), tujuan dari pengajaran toilet
training adalah
mengajarkan kepada anak untuk mengontrol keinginannya BAB atau
BAK. Hal
ini berhubungan dengan perkembangan sosial anak di mana ia
dituntut secara
sosial untuk menjaga kebersihan diri dan melakukan BAB atau BAK
pada tempatnya, yaitu toilet.
2.1.3. Keuntungan Dilakukannya Toilet Training
Toilet training dapat
menimbulkan kemampuan anak dalam mengontrol miksi dan
defekasi. Seorang anak yang telah berhasil menjalani toilet
training memiliki
kemampuan menggunakan toilet pada saat ingin BAB atau BAK. Selain
itu
keuntungan pelaksanaan toilet training pada anak adalah:
1. Toilet training menjadi
awal terbentuknya kemandirian anak secara nyata
sebab anak sudah bisa melakukan sendiri hal-hal seperti BAB atau
BAK.
2. Toilet training membuat
anak dapat mengetahui bagian-bagian tubuh serta
fungsinya (Warga, 2007).
2.1.4. Cara Pelaksanaan Toilet Training
Proses toilet training harus dilakukan dengan cara
menawarkan bantuan, tetap
sabar, dan menciptakan
keadaan yang menyenangkan. Hindari timbulnya
perasaan tertekan pada anak dan jangan berikan hukuman jika gagal.
Anak harus
merasakan dirinya mampu melakukan BAB atau BAK dan bisa
mengendalikannya. Pelaksanaan toilet training dilakukan
teknik sebagai berikut:
1. Teknik lisan
Usaha untuk melatih anak dengan cara memberikan intruksi berupa
kata-kata
sebelum dan sesudah BAK dan BAB. Cara ini harus dilakukan dengan
benar
sehingga mempunyai nilai yang cukup besar dalam memberikan
rangsangan
untuk BAB atau BAK. Kemampuan anak melakukan BAB atau BAK
memerlukan kesiapan psikologis yang matang.
2. Teknik Modelling
Usaha untuk melatih anak dalam melakukan BAK dan BAB dengan cara
memberikan contoh dan meminta anak menirukannya. Selain itu juga
dapat
dilakukan dengan membiasakan anak BAB atau BAK dengan cara
mengajaknya ke toilet dan memberikan pispot. Dalam memberikan
contoh
orangtua harus melakukannya dengan benar. Selain itu perlu
diperhatikan
ketepatan waktu saat memberikan contoh toilet training,
serta
mengkondusifkan suasana dengan memberikan pujian saat anak berhasil
dan
tidak marah saat anak gagal melakukan BAB atau BAK dengan benar
(Warga,
2007).
2.1.5. Tahap Pelaksanaan Toilet
Training
Tahapan yang akan dilalui anak dalam melakukan toilet training
adalah sebagai berikut (Mahoney, 1971):
1. Mengenal tanda-tanda urgensi BAB atau BAK.
2. Bergerak dengan kesadaran sendiri menuju toilet.
3. Menanggalkan pakaian secukupnya untuk membebaskan organ kemihnya.
4. Melakukan BAB atau BAK.
5. Membersihkan diri dan menggunakan kembali pakaiannya.
2.1.6. Faktor Pendukung Toilet Training
Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahami cara
menggunakan perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu,
apabila dilakukan pengalihan dari penggunaan popok ke penggunaan toilet, terlebih
dahulu
dilakukan dengan alat bantu
berupa toilet mini (Gilbert, 2003):
1. Peragakan cara penggunaan toilet. Kemudian anak dibiasakan untuk
duduk di toilet dengan menggunakan popok saat akan BAB atau BAK. Sehingga setelah tiba waktunya untuk menggunakan toilet, anak sudah
mengenal toilet dan cukup paham mengenai cara penggunaannya.
2. Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah
dan tempat-tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan berdasarkan
tinggi dan berat badan orang dewasa. Maka ada kecenderungan bahwa toilet
berukuran jauh lebih besar dari yang dibutuhkan anak. Untuk mengatasi hal
ini dapat dilakukan dengan meletakkan penyangga, kursi toilet, maupun
mengganti dudukan toilet menjadi ukuran yang sesuai dengan anak.
3. Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai
panjatan anak menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat duduk di
toilet. Hal ini menjaga keamanan anak jika sedang tidak diawasi dan perasaan mengendalikan diri sendiri yang dimiliki seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangannya saat BAB atau BAK,
ada kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya sebagai
tumpuan pada toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus dibersihkan terlebih
dahulu dengan menggunakan antikuman. Selain itu anak harus dibiasakan untuk
mencuci tangan dan berdiri dengan pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belum siap atau
masih ketakutan menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak
optimalnya pelatihan toilet tersebut. Pada keadaan ini, gunakan toilet mini
sebagai alternatif pilihan.
Dalam rangka memudahkan anak untuk belajar, maka dibutuhkan
beberapa
intervensi. Untuk pelaksanaan toilet training yang optimal
maka diperlukan:
1. Membeli peralatan yang dibutuhkan
a. Kursi atau papan toilet yang digunakan untuk tempat naik dan
menyangga kaki anak saat sedang BAB/BAK. Hal ini akan menjaga anak tetap menjejakkan kaki ke lantai sehingga menimbulkan kepercayaan diri
anak dan perasaan aman. Selain itu, alat ini juga memungkinkan anak
untuk turun sendiri tanpa bantuan.
b. Makanan atau cemilan kesukaan anak untuk dijadikan hadiah atas keberhasilannya BAB atau BAK di toilet.
c. Diagram atau tabel pelaksanaan toilet training, serta
penanda jumlah keberhasilan.
2. Membuat posisi anak pada kursi toilet senyaman mungkin seperti
yang
Diinginkannya. Untuk mengoptimalkan keberhasilan toilet
training, maka sebaiknya kursi
toilet yang digunakan sudah familiar bagi anak. Hal ini akan
membantunya beradaptasi saat dihadapkan dengan toilet yang sebenarnya atau aktual.
3. Rangsang anak untuk bergerak cepat menuju toilet
Lakukan rangsangan gerakan cepat berupa upaya berlari saat anak
menunjukkan tanda-tanda ingin BAK atau BAB. Semangati anak dengan
katakata
ataupun kalimat yang bisa dimengerti olehnya. Biarkan anak bergerak sesuka hatinya saat di toilet dan jangan paksakan
anak untuk tetap berada di toilet.Hindari penggunaan tenaga dan kekerasan untuk
mempertahankan keberhasilan. Meskipun anak kelihatan menyenangi toiletnya, usahakan
agar kegiatan selesai dalam 5 menit dan keluarkan anak dari toilet.
4. Berikan selamat ataupun hadiah jika anak mampu menyelesaikan BAB
atau BAK dengan baik Setiap keberhasilan dan pencapaian dalam pelatihan toilet
ini sebaiknya diberikan penghargaan ataupun hadiah. Bisa dengan ciuman dan
pelukan, maupun dengan emberikan makanan
atau cemilan tertentu. Pencapaian-pencapaian besar seperti mampu melaksanakan keseluruhan
rangkaian BAB atau BAK di toilet tanpa bantuan dan atas kesadaran sendiri, bisa
diberikan hadiah yang lebih bermakna (Beaty, 1994).
5. Apabila anak gagal menuntaskan BAB atau BAK dengan baik sehingga celananya basah atau kotor, maka lakukan peringatan secara verbal
dengan menggunakan kalimat yang suportif dan persuasif. Hindari
penggunaan intervensi kekuatan dan fisik, kata-kata kasar, dan teriakan
karena akan membuat anak merasa gagal dan bisa menjadi tidak kooperatif.
Jangan berlama-lama membiarkan anak dalam keadaan kotor atau basah.
6. Apabila anak sudah mampu menggunakan toilet dengan baik dan cukup kooperatif dalam pelaksanaannya, penggunan popok bisa diganti
dengan celana dalam. Hal ini akan membantu mempercepat kesuksesan
pelatihan.
Popok hanya digunakan di malam hari atau saat tidur. Pelatihan dianggap sukses dan memadai jika anak telah mampu pergi
ke toilet atas inisiatif sendiri dan mampu menyelesaikannya dengan
baik. Pelatihan ini dilakukan selama 2 minggu sampai 2 bulan. Semakin lama
pelatihan berlangsung, upaya 3 dan 4 dapat dikurangi (Schmitt, 1991).
Toilet training merupakan
suatu peralihan atau perubahan dari penggunaan popok menjadi penggunaan toilet pada seorang anak. Di antara kedua
fase ini, ada sebuah cara alternatif yang bisa digunakan untuk memudahkan proses
toilet training, yaitu
penggunaan toilet mini. Toilet mini adalah peralatan yang
disiapkan untuk tempat menampung BAB atau BAK anak dan bersifat
portabel (bisa dipindahkan). Prinsip penggunaan toilet mini pada toilet
training adalah untuk memperpendek jarak yang harus ditempuh seorang anak untuk
melakukan BAB atau BAK (Gilbert, 2003).
2.1.7. Faktor Penghambat Toilet Training
Menurut Government of South Australia (1999), faktor yang
menghambat
pelatihan toilet adalah sebagai berikut:
1. Upaya toilet training dilakukan terlalu dini.
2. Orangtua telah menetapkan standar waktu pelaksanaan tanpa
memperhatikan perkembangan anak.
3. Tekanan dari lingkungan atau orang lain untuk memaksakan
pelatihan.
4. Orangtua atau pengasuh berpendapat bahwa anak harus mengalami toilet training sesegera
mungkin untuk membuktikan keberhasilan pendidikan dan menunjukkan keunggulan si anak.
5. Perselisihan antara anak dan orangtua dalam menjalani toilet
training.
6. Memberikan hukuman pada anak yang gagal dalam menyelesaikan proses BAB atau BAK di toilet dengan baik.
7. Adanya faktor stres pada kehidupan anak.
8. Adanya gangguan fisik atau organik pada anak, misalnya kerusakan
sistem kemih ataupun sistem pencernaan sehingga menyebabkan gangguan
fisiologis berkemih dan defekasi. Hal ini tampak apabila anak terlalu sering
BAB atau BAK, BAB atau BAK mengandung darah, ataupun nyeri saat berkemih
atau defekasi.
Sedangkan menurut De Bord (1997), penghambat dalam toilet
training adalah sebagai berikut:
1. Memaksakan anak untuk duduk di toilet.
2. Bereaksi terlalu keras terhadap kesalahan anak.
3. Menggunakan obat-obatan untuk mempercepat BAB atau BAK.
2.1.8. Kriteria Anak yang Telah Siap untuk Diajarkan Toilet Training
Toilet training tidak
boleh dilakukan sebelum anak siap. Kesiapan anak itu sendiri
tergantung pada konsep dan kemampuan yang diajarkan sejak anak
berusia 12
bulan. Salah satu stimulus yang sangat membantu adalah membacakan
buku
tentang usaha BAK atau BAB mandiri kepada anak. Toilet training
dapat dimulai
saat usia anak berkisar antara 18 sampai 30 bulan. Sebagian besar
anak mulai
toilet training pada usia
24 bulan, sebagian kecil pada 18 bulan. Pada usia 3
tahun, anak akan mampu belajar untuk toilet training
sendiri tanpa bantuan.
Beberapa tahapan perkembangan kemampuan dan perubahan fisiologis
anak dibutuhkan untuk toilet training. Hal tersebut antara
lain (Gilbert, 2003):
1. Anak telah mampu menyadari bahwa pakaian atau popok yang
digunakannya
kotor atau basah. Hal ini mulai terjadi pada usia 15 bulan.
2. Anak telah mampu membedakan BAB dengan BAK, serta mampu
memberitahukan kepada pengasuh bila mengalami urgensi BAB atau
BAK.
Hal ini mulai terjadi pada usia 18-24 bulan.
3. Anak mampu memberitahu terlebih dahulu jika ia ingin BAB atau BAK
dalam
interval waktu yang cukup untuk pengasuh mengantarkannya ke
toilet.
4. Anak mampu melakukan kontrol terhadap kandung kemih dan mampu
menahan keinginan BAB atau BAK selama beberapa saat.
Berikut adalah tanda-tanda anak yang sudah siap diajarkan toilet
training:
1. Anak telah diajarkan dan mengerti makna kata-kata “pipis” atau
”kencing”
(BAK), “eek” atau ”beol” (BAB), “bersih”,”jorok”, “basah”,
“kering”, dan
“kamar mandi atau toilet” (Schmit, 1991).
2. Anak telah mengerti kegunaan toilet. Hal ini diajarkan dengan
memberikan
peragaan atau contoh kepada anak (Schmit, 1991).
3. Anak cenderung memilih dan menyukai popok yang bersih dan kering.
Hal ini
diajarkan dengan menstimulasi anak dengan mengganti popok jika
sudah
basah atau kotor (Schmit, 1991).
4. Anak menyukai perubahan atau pelajaran perkembangan kemampuan. Hal
ini
diajarkan dengan mengubah metode mengganti popok dari aktif
menjadi pasif
(menunggu anak sadar dan datang untuk diganti popoknya) (Schmit,
1991).
5. Anak mengerti hubungan antara kebersihan dan kekeringan pada popok
dengan penggunaan toilet (Schmit, 1991).
6. Anak mengetahui perasaan ingin atau urgensi BAK atau BAB. Hal ini
ditandai
dengan berjongkok, memegang alat kelaminnya, meloncat-loncat
panik, atau
memberitahu kepada seseorang yang bisa membantunya (Gilbert,
2003).
7. Anak dapat menahan dan menunda urgensi BAK atau BAB untuk
sementara waktu (Gilbert, 2003).
8. Anak bersifat optimis dan ingin mandiri, hal ini dapat dilihat
dari sikap dan kecenderungan untuk berkata “aku bisa” (Gilbert, 2003).
9. Anak telah memiliki waktu atau jadwal BAB atau BAK yang teratur
(Gilbert, 2003).
10. Anak telah mengerti kata-kata dan mampu mengerjakan instruksi
sederhana (Gilbert, 2003).
11. Anak mampu berjalan dan
duduk di atas toilet (Ferrer-Chancy, 2000).
12. Anak mampu membedakan BAB dengan BAK (Ferrer-Chancy, 2000).
2.1.9. Aspek Psikologis Toilet Training
Menurut Freud (1923) dalam Papalia (2003), toilet training
dilakukan pada masa
anal perkembangan psikologis anak. Banyak psikolog terkemuka yang berpendapat bahwa fase anal merupakan salah satu fase penting
perkembangan psikologis seseorang. Dalam fase ini anak pertama kali dihadapkan
pada kondisi dimana keadaan fisiologis dan biologis tubuhnya harus disesuaikan
dengan faktor lingkungan dan sosial. Fase ini merupakan fase yang tepat untuk
mengajarkan anak untuk menahan kebutuhan biologis misalnya BAB atau BAK. Hal
ini penting untuk menyesuaikan perkembangannya dengan faktor
lingkungan, yaitu menjaga kebersihan dan faktor sosial, yaitu ajaran orangtua atau
pengasuh. Usia 18 bulan sampai 3 tahun
merupakan saat di mana anak mengalami konflik autonomy versus shame and doubt, yaitu mulai
mengetahui tentang kapabilitas dirinya dan membentuk zona pribadi miliknya. Mereka
ingin memilih apa yang dilakukan dan didapatkan sendiri. Konflik akan
terselesaikan jika orangtua mampu memberikan arahan yang baik dan pilihan-pilihan
bijak. Freud (1923) dalam Papalia (2003) mengidentifikasikan toilet training
sebagai salah
satu momen yang menentukan kesehatan psikologis seseorang pada
fase
perkembangan ini. Perilaku orangtua saat pelatihan mempengaruhi
aspek ini.
Seorang anak berusia dua tahun, seharusnya sudah mampu menjalani toilet
training, makan dengan menggunakan sendok dan merapikan
mainannya setelah
bermain. Peran orangtua dalam pelatihan hanya mengontrol dan
memberikan
dukungan saja. Hal ini akan mengembangkan kemampuan toleransi diri
dan
pengertian. Menurut Erikson (1992) dalam Berk (1998), orangtua
yang terlalu ikut
campur dalam perkembangan kemampuan anaknya akan membuat anak
kehilangan beberapa momen yang menentukan aspek-aspek hidupnya.
Anak bisa
berkembang menjadi pribadi yang penakut dan pemalu, tidak mampu
menentukan
pilihan, merasa tertekan, dan tidak mampu mengendalikan diri.
2.1.10. Permasalahan pada Kegagalan Toilet Training
Kegagalan pada toilet training akan menyebabkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Inkontinensia urin berkepanjangan, terutama pada anak dengan
retardasi mental (Azrin, 1971).
2. Enkopresis, yaitu gangguan pengeluaran feses pada tempat yang
tidak sesuai (bukan di toilet) dan terjadi berulang kali (Gelfand, 2003).
3. Enuresis, yaitu gangguan ngompol (pengeluaran urin bukan pada
tempatnya)
pada anak tanpa kelainan fisik dan usia yang sudah tepat untuk
diajarkan toilet training (Gelfand,
2003).
4. Gangguan perkembangan anak (Berk, 1998).
2.2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah
Usia anak prasekolah (1-5 tahun) merupakan masa di mana perubahan
pertumbuhan dan perkembangan terjadi begitu cepat dan menjadi masa
yang
sangat menantang bagi orangtua dan ahli pediatrik. Kemampuan yang
sangat
berkembang adalah kemampuan berbahasa dan interpersonal. Hal ini
termasuk
dalam konsep pertumbuhan dan perkembangan anak, yang mencakup
afektif, motorik, kognitif, dan pertumbuhan fisik.
Perkembangan afektif anak
pada usia prasekolah antara lain adalah
keinginan mandiri dan bebas dari pengasuhan, kebutuhan dan
kepentingan untuk
berhubungan dengan anggota keluarga, dan usaha awal untuk
pengendalian diri
dari kegiatan yang bersifat instingtif. Selain itu, dalam
perkembangan afektif juga
dinilai perubahan sikap atau perilaku, temperamen, dan sebagainya
dalam
interaksi sosial. Secara kognitif, perubahan yang terjadi adalah
pengembangan
pola pikir preoperational dari sensorimotor. Karakteristiknya
antara lain adalah
penggunaan bahasa dalam berinteraksi dan upaya berpura-pura dan
meniru. Anak
pada usia ini hanya memahami sedikit kata-kata dan bergantung pada
kemampuan
motoriknya untuk memanipulasi lingkungan. Sebagai perbandingan,
seorang anak
usia 3 tahun mampu berbicara dalam bentuk kalimat, berinteraksi
dengan
berbicara, dan menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan tertentu.
Pertumbuhan
fisik berjalan lebih lambat daripada fase bayi (infantil). Sebagai
gantinya,
kemampuan motorik kasar dan halus berkembang dengan cepat. Anak
pada usia
prasekolah ini mulai belajar untuk berjalan, kemudian berlari dan
meloncat.
2.2.1. Pertumbuhan Anak
Setelah pertumbuhan yang cepat pada masa bayi, kecepatan
pertumbuhan
berkurang pada masa prasekolah. Setelah usia dua tahun, anak
memperoleh berat
badan 2-3 kg dan 6-10 cm tinggi badan setiap tahunnya. Lingkar
kepala hanya
sedikit bertambah yaitu sekitar 3 cm sampai usia 12 tahun.
Pertumbuhan tidak
meningkat secara konstan. Anak biasanya tidak mengalami kenaikan
dan penurunan berat badan yang teratur.
Peningkatan tinggi badan pada usia prasekolah biasanya akibat pertambahan panjang ekstremitas. Proporsi tubuh berubah, dari
rasio atas-bawah 1,40 pada usia 2 tahun menjadi 1,15-1,20 pada 5 tahun. Dengan
bentuk tubuh yang berubah, maka memerlukan penyesuaian postur, yang apabila
gagal akan
menimbulkan lordosis dan protuberan abdomen. Pertumbuhan
ekstremitas bawah
biasanya disertai dengan torsi tibia dan pembengkokan tungkai,
yang bisa sembuh
sendiri pada usia 3 tahun. Persentase lemak tubuh menurun dari 22%
pada usia 1
tahun menjadi 12,5-15% pada usia 5 tahun. Pada akhir masa
prasekolah,
peningkatan tonus otot dan penurunan lemak tubuh membuat
penampilan anak
menjadi lebih kurus dan berotot (Colson, 1997).
2.2.2. Perkembangan Anak
Menurut Colson (1997), perkembangan kemampuan anak yang terjadi
pada usia 0-5 tahun adalah sebagai berikut:
1. Gross Motor Abilities
Pada usia kira-kira 2 tahun, pertumbuhan anak sudah memungkinkan
kaki
untuk berjalan seperti dewasa. Setelah 36 bulan, anak telah
mengembangkan
keseimbangan tubuh dan mampu berdiri dengan satu kaki secara
stabil. Anak
biasanya tertarik dan senang akan kemampuan baru mereka, dan akan
mencari
tahu apalagi yang bisa ia lakukan. Perkembangan selanjutnya adalah
kemampuan untuk meloncat dan berlari. Dalam hal ini dibutuhkan
pengawasan
untuk mencegah terjadinya luka dan kecelekaan karena anak-anak
sering
berusaha mencari tahu batas kemampuan mereka di luar batas kemampuannya
dan hal tersebut bisa berbahaya terhadap diri sendiri.
2. Fine Motor Abilities
Perkembangan dari segi gerakan halus terjadi pada kemampuan untuk
menggapai, menggenggam, dan memanipulasi benda-benda kecil. Pada
usia 18
bulan, anak sudah mampu menyusun balok sebanyak 4 buah. Setahun
kemudian, dengan latihan dan perkembangan kontrol dirinya, ia akan
mampu
menyusun sampai delapan balok. Banyak anak pada usia 18 bulan yang
menyenangi eksplorasi terhadap warna, misalnya dengan krayon.
Apabila
memungkinkan, ia akan menggenggam alat tersebut dan
menggoreskannya di
berbagai tempat. Dalam 1,5 tahun kemudian, anak akan mampu
menggenggam
krayon tersebut dengan dua jari saja, dan menggambar sebuah
lingkaran. Pada
usia 3 tahun, si anak mulai dapat menggambar hal-hal sederhana.
3. Autonomy and Independence
Seiring berkembangnya kemampuan motorik anak, muncullah dorongan
untuk
bebas dari pengasuhan dan kemampuan untuk mengendalikan diri
sendiri.
Anak menjumpai dan menyadari kondisi dimana ia bisa bergerak tanpa
bantuan
orangtua atau pengasuh, dan mulai mencari tahu batasan dari hal
tersebut.
Keinginan untuk mendapatkan otonomi bisa muncul setiap hari,
misalnya
dengan menolak untuk makan kecuali ia diperbolehkan untuk
melakukan hal
tersebut sendiri. Selain itu, anak juga tidak mau mencoba jenis
makanan baru,
kecuali ketertarikan atas makanan yang dikonsumsi orang lain.
Gambaran yang
paling sering muncul pada anak adalah temper tantrum. Anak mulai
bertingkah
memberontak dan ingin mengendalikan kegiatan sehari-harinya tanpa
campur
tangan orangtua. Apabila tidak dikabulkan, maka ia bisa menangis,
memukul,
ataupun marah-marah.
4. Control and Self Impulse
Anak juga mulai mampu mengendalikan diri, yang bisa dikatakan
sebagai
proses “menjadi teratur”. Pada usia 18 bulan, anak akan memiliki
kontrol
minimum dan tetap memperlihatkan beberapa kali temper tantrum
dalam
sehari. Pada usia dua tahun biasanya mampu mengendalikan impuls
dengan
derajat yang berbeda-beda. Pada usia 3 tahun anak sudah mampu
melakukan
pengendalian diri, sebagian karena mereka juga sedang belajar
untuk menahan
penyampaian pendapat atau memendam perasaan. Pada saat ini mereka
akan
belajar bahwa terkadang kita harus menunggu untuk mencapai sebuah
tujuan.
Kemampuan-kemampuan ini sangat penting didapatkan menjelang toilet
training.
Keberhasilan toilet training bisa dilihat pada akhir usia 3 tahun. Pada
usia ini, dibutuhkan kemampuan fisik yaitu kemampuan untuk
berjalan dan
menahan urgensi BAB atau BAK, dan kemampuan emosional, yaitu
keinginan
untuk BAB atau BAK pada tempatnya. Meskipun toilet training
sudah diajarkan
pada usia dini, namun pencapaian keberhasilan tidak mengompol lagi
baru bisa
terjadi umumnya pada usia 2,5 tahun (Colson, 1997).