Selasa, 11 Februari 2014

Sasaran keselamatan pasien rumah sakit



IDENTIFIKASI RESIKO KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY) DI RUMAH SAKIT
Pelayanan global dalam Kesehatan adalah Keselamatan Pasien (Patient Safety). Isu ini praktis mulai dibicarakan kembali pada tahun 2000-an, sejak laporan dan Institute of Medicine (IOM) yang menerbitkan laporan: to err is human, building a safer health system. Keselamatan pasien adalah suatu disiplin baru dalam pelayanan kesehatan yang mengutamakan pelaporan, analisis, dan pencegahan medical error yang sering menimbulkan Kejadian Tak Diharapkan (KTD) dalam pelayanan kesehatan.
Organisasi kesehatan dunia WHO juga telah menegaskan pentingnya keselamatan dalam pelayanan kepada pasien: “Safety is a fundamental principle of patient care and a critical component of quality management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme WHO, 2004), sehubungan dengan data KTD di Rumah Sakit di berbagai negara menunjukan angka 3 – 16% yang tidak kecil.
Frekuensi dan besarnya KTD tak diketahui secara pasti sampai era 1990-an, ketika berbagai Negara melaporkan dalam jumlah yang mengejutkan pasien cedera dan meninggal dunia akibat medical error. Menyadari akan dampak error pelayanan kesehatan terhadap 1 dari 10 pasien di seluruh dunia maka World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa perhatian terhadap Keselamatan Pasien sebagai suatu endemis.
Sejak berlakunya UU No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU No. 29 tentang Praktik Kedokteran, muncullah berbagai tuntutan hukum kepada Dokter dan Rumah Sakit. Hal ini hanya dapat ditangkal apabila Rumah Sakit menerapkan Sistem Keselamatan Pasien. Sehingga Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) pada tanggal 1 Juni 2005. Selanjutnya Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit ini kemudian dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada Seminar Nasional PERSI pada tanggal 21 Agustus 2005, di Jakarta Convention Center Jakarta.
KKP-RS telah menyusun Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien bagi staf RS untuk mengimplemen­tasikan Keselamatan Pasien di Rumah Sakit. Di samping itu pula KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) Depkes telah menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang akan menjadi salah satu Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Pada tahun 2011 Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan Permenkes 1691 tahun 2011 tentang Keselamatan Pasien Rumah Sakit sebagai pedoman bagi penerapan Keselamatan Pasien di rumah sakit. Dalam permenkes 1691 tahun 2011 dinyatakan bahwa rumah sakit dan tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit wajib melaksanakan program dengan mengacu pada kebijakan nasional Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
(1)    Setiap rumah sakit wajib membentuk Tim Keselamatan Pasien Rumah Sakit (TKPRS) yang ditetapkan oleh kepala rumah sakit sebagai pelaksana kegiatan keselamatan pasien.
(2)    TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada kepala rumah sakit.
(3)    Keanggotaan TKPRS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari manajemen rumah sakit dan unsur dari profesi kesehatan di rumah sakit.
(4)    TKPRS melaksanakan tugas:
  1. Mengembangkan program keselamatan pasien di rumah sakit sesuai dengan kekhususan rumah sakit tersebut;
  2. Menyusun kebijakan dan prosedur terkait dengan program keselamatan pasien rumah sakit;
  3. Menjalankan peran untuk melakukan motivasi, edukasi, konsultasi, pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi) tentang terapan (implementasi) program keselamatan pasien rumah sakit;
  4. Bekerja sama dengan bagian pendidikan dan pelatihan rumah sakit untuk melakukan pelatihan internal keselamatan pasien rumah sakit;
  5. Melakukan pencatatan, pelaporan insiden, analisa insiden serta mengembangkan solusi untuk pembelajaran;
  6. Memberikan masukan dan pertimbangan kepada kepala rumah sakit dalam rangka pengambilan kebijakan keselamatan pasien rumah sakit; dan
  7. Membuat laporan kegiatan kepada kepala rumah sakit.
Dalam pelaksanaannya, Keselamatan Pasien akan banyak menggunakan prinsip dan metode manajemen risiko mulai dan identifikasi, asesmen dan pengolahan risiko. Diharapkan, pelaporan & analisis insiden keselamatan pasien akan meningkatkan kemampuan belajar dan insiden yang terjadi untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama di kemudian hari.
2.    Keselamatan pasien dan manajemen risiko klinis
Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (Kemenkes RI, 2011).
Risiko adalah “peristiwa atau keadaan yang mungkin terjadi yang dapat berpengaruh negatif terhadap perusahaan. perusahaan.” (ERM) Pengaruhnya dapat  berdampak terhadap kondisi :
  • Sumber Daya (human and capital)
  • Produk dan jasa , atau
  • Pelanggan,
  • Dapat juga berdampak eksternal terhadap masyarakat,pasar atau lingkungan.
Risiko adalah “fungsi dari probabilitas (chance, likelihood) dari suatu kejadian yang tidak diinginkan, dan tingkat keparahan atau besarnya dampak dari kejadian tersebut.
Risk = Probability (of the event) X Consequence
Risiko di Rumah Sakit:
  • Risiko klinis adalah semua isu yang dapat berdampak terhadap pencapaian pelayanan pasien yang bermutu tinggi, aman dan efektif.
  • Risiko non klinis/corporate risk adalah semua issu yang dapat berdampak terhadap tercapainya tugas pokok dan kewajiban hukum dari rumah sakit sebagai korporasi.
Kategori risiko di rumah sakit ( Categories of Risk ) :
  • Patient care care-related risks
  • Medical staff staff-related risks
  • Employee Employee-related risks
  • Property Property-related risks
  • Financial risks
  • Other risks
Manajemen risiko adalah pendekatan proaktif untuk mengidentifikasi, menilai dan menyusun prioritas risiko, dengan tujuan untuk menghilangkan atau meminimalkan dampaknya. Manajemen risiko rumah sakit adalah kegiatan berupa identifikasi dan evaluasi untuk mengurangi risiko cedera dan kerugian pada pasien, karyawan rumah sakit, pengunjung dan organisasinya sendiri (The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations/JCAHO).
Manajemen Risiko Terintegrasi adalah proses identifikasi, penilaian, analisis  dan pengelolaan semua risiko yang potensial dan kejadian keselamatan pasien. Manajemen risiko terintegrasi diterapkan terhadap semua jenispelayanan dirumah sakit pada setiap level
Jika risiko sudah dinilai dengan tepat, maka proses ini akan membantu rumah sakit, pemilik dan para praktisi untuk menentukan prioritas dan perbaikan dalam pengambilan keputusan untuk mencapai keseimbangan optimal antara risiko, keuntungan dan biaya.
Dalam praktek, manajemen risiko terintegrasi berarti:
  • Menjamin bahwa rumah sakit menerapkan system yang sama untuk mengelola semua fungsi-fungsi manajemen risikonya, seperti patient safety, kesehatan dan keselamatan kerja, keluhan, tuntutan (litigasi) klinik, litigasi karyawan, serta risiko keuangan dan lingkungan.
  • Jika dipertimbangkan untuk melakukan perbaikan, modernisasi dan clinical governance,  manajemen risiko menjadi komponen kunci untuk setiap desain proyek tersebut.
  • Menyatukan semua sumber informasi yang berkaitan dengan risiko dan keselamatan, contoh: “data reaktif” seperti insiden patient safety, tuntutan litigasi klinis, keluhan, dan insiden kesehatan dan keselamatan kerja, “data proaktif” seperti hasil dari penilaian risiko; menggunakan pendekatan yang konsisten untuk pelatihan, manajemen, analysis dan investigasi dari semua risiko yang potensial dan kejadian aktual.
  • Menggunakan pendekatan yang konsisten dan menyatukan semua penilaian risiko dari semua jenis risiko di rumah sakit pada setiap level.
  • Memadukan semua risiko ke dalam program penilaian risiko dan risk register
  • Menggunakan informasi yang diperoleh melalui penilaian risiko dan insiden untuk menyusun kegiatan mendatang dan perencanaan strategis.
Proses manajemen risiko
Diagram: Proses Manajemen Risiko diadaptasi dari RISK MANAGEMENT AS A WAY OF WORKINGSETTING

Identifikasi risiko adalah usaha mengidentifikasi situasi yang dapat menyebabkan cedera, tuntutan atau kerugian secara finansial. Identifikasi akan membantu langkah-langkah yang akan diambil manajemen terhadap risiko tersebut.
Instrument:
  1. Laporan KejadianKejadian(KTD+KNC+Kejadian Sentinel+dan lain-lain)
  2. Review Rekam Medik (Penyaringan Kejadian untuk memeriksa dan mencari penyimpangan-penyimpangan pada praktik dan prosedur)
  3. Pengaduan (Complaint) pelanggan
  4. Survey/Self Assesment, dan lain-lain
Pendekatan terhadap identifikasi risiko meliputi:
  • Brainstorming
  • Mapping out proses dan prosedur perawatan atau jalan keliling dan menanyakan kepada petugas tentang identifikasi risiko pada setiap lokasi.
  • Membuat checklist risiko dan menanyakan kembali sebagai umpan balik
Penilaian risiko (Risk Assesment) merupakan proses untuk membantu organisasi menilai tentang luasnya risiko yg dihadapi, kemampuan mengontrol frekuensi dan dampak risiko risiko. RS harus punya Standard yang berisi Program Risk Assessment tahunan, yakni Risk Register:
  1. Risiko yg teridentifikasi dalam 1 tahun
  2. Informasi Insiden keselamatan Pasien, klaim litigasi dan komplain, investigasi eksternal & internal, external assessments dan Akreditasi
  3. Informasi potensial risiko maupun risiko actual (menggunakan RCA&FMEA)
Penilaian risiko Harus dilakukan oleh seluruh staf dan semua pihak yang terlibat termasuk Pasien dan publik dapat terlibat bila memungkinkan. Area yang dinilai:
  • Operasional
  • Finansial
  • Sumber daya manusia
  • Strategik
  • Hukum/Regulasi
  • Teknologi
Manfaat manajemen risiko terintegrasi untuk rumah sakit
  1. Informasi yang lebih baik sekitar risiko sehingga tingkat dan sifat risiko terhadap pasien dapat dinilai dengan tepat.
  2. Pembelajaran dari area risiko yang satu, dapat disebarkan di area risiko yang lain.
  3. Pendekatan yang konsisten untuk identifikasi, analisis dan investigasi untuk semua risiko, yaitu menggunakan RCA.
  4. Membantu RS dalam memenuhi standar-standar terkait, serta kebutuhan clinical governance.
  5. Membantu perencanaan RS menghadapi ketidakpastian, penanganan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan, dan meningkatkan keyakinan pasien dan masyarakat.
Risk Assessment Tools
  • Risk Matrix Grading
  • Root Cause Analysis
  • Failure Mode and Effect Analysis
3.    Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Standar I. Hak pasien
Standar:
Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Kriteria:
1.1.            Harus ada dokter penanggung jawab pelayanan.
1.2.            Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan.
1.3.            Dokter penanggung jawab pelayanan wajib memberikan penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil pelayanan, pengobatan atau prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya insiden.
Standar II. Mendidik pasien dan keluarga
Standar:
Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien.
Kriteria:
Keselamatan dalam pemberian pelayanan dapat ditingkatkan dengan keterlibatan pasien yang merupakan partner dalam proses pelayanan. Karena itu, di rumah sakit harus ada sistem dan mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut diharapkan pasien dan keluarga dapat:
  1. Memberikan informasi yang benar, jelas, lengkap dan jujur.
  2. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.
  3. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.
  4. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan.
  5. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.
  6. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.
  7. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.
Standar III. Keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan
Standar:
Rumah Sakit menjamin keselamatan pasien dalam kesinambungan pelayanan dan menjamin koordinasi antar tenaga dan antar unit pelayanan.
Kriteria:
3.1.            Terdapat koordinasi pelayanan secara menyeluruh mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit
3.2.            Terdapat koordinasi pelayanan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan transisi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.
3.3.            Terdapat koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.
3.4.            Terdapat komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.
Standar IV.    Penggunaan metode-metode peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program peningkatan keselamatan pasien
Standar:
Rumah sakit harus mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Kriteria:
4.1.      Setiap rumah sakit harus melakukan proses perancangan (desain) yang baik, mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
4.2.      Setiap rumah sakit harus melakukan pengumpulan data kinerja yang antara lain terkait dengan: pelaporan insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan, keuangan.
4.3.      Setiap rumah sakit harus melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua insiden, dan secara proaktif melakukan evaluasi satu proses kasus risiko tinggi.
4.4.      Setiap rumah sakit harus menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan perubahan sistem yang diperlukan, agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.
Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.
Standar:
  1. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan  pasien secara terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit “.
  2. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan pasien dan program menekan atau mengurangi insiden.
  3. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit dan individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.
  4. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengukur, mengkaji, dan meningkatkan kinerja rumah sakit serta meningkatkan keselamatan pasien.
  5. Pimpinan mengukur dan mengkaji efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien.
Kriteria:
5.1.      Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien.
5.2.      Tersedia program proaktif untuk identifikasi risiko keselamatan dan program meminimalkan insiden.
5.3.      Tersedia mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit terintegrasi dan berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.
5.4.      Tersedia prosedur “cepat-tanggap” terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan jelas untuk keperluan analisis.
5.5.      Tersedia mekanisme pelaporan internal dan eksternal berkaitan dengan insiden termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang Analisis Akar Masalah “Kejadian Nyaris Cedera” (Near miss) dan “Kejadian Sentinel’ pada saat program keselamatan pasien mulai dilaksanakan.
5.6.      Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden, misalnya menangani “Kejadian Sentinel” (Sentinel Event) atau kegiatan proaktif untuk memperkecil risiko, termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan “Kejadian Sentinel”.
5.7.      Terdapat kolaboratoriumorasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola pelayanan di dalam rumah sakit dengan pendekatan antar disiplin.
5.8.      Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja rumah sakit dan perbaikan keselamatan pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan sumber daya tersebut.
5.9.      Tersedia sasaran terukur, dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria objektif untuk mengevaluasi efektivitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana tindak lanjut dan implementasinya.
Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien
Standar:
  1. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap jabatan mencakup keterkaitan jabatan dengan keselamatan pasien secara jelas.
  2. Rumah sakit menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisipliner dalam pelayanan pasien.
Kriteria:
6.1.      Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan orientasi bagi staf baru yang memuat topik keselamatan pasien sesuai dengan tugasnya masing-masing.
6.2.      Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training dan memberi pedoman yang jelas tentang pelaporan insiden.
6.3. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan pelatihan tentang kerjasama kelompok (teamwork) guna mendukung pendekatan interdisipliner dan kolaboratoriumoratif dalam rangka melayani pasien.
Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staff untuk mencapai keselamatan pasien
Standar:
  1. Rumah sakit merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan eksternal.
  2. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat.
Kriteria:
7.1.      Perlu disediakan anggaran untuk merencanakan dan mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.
7.2.      Tersedia mekanisme identifikasi masalah dan kendala komunikasi untuk merevisi manajemen informasi yang ada.
4.    Sasaran Keselamatan Pasien
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International (JCI).
Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu tinggi, sedapat mungkin sasaran secara umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.
Enam sasaran keselamatan pasien adalah tercapainya hal-hal sebagai berikut:
Sasaran I.: Ketepatan Identifikasi Pasien
Kesalahan karena keliru pasien terjadi di hampir semua aspek/tahapan  diagnosis dan pengobatan. Kesalahan  identifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang dalam keadaan terbius/tersedasi, mengalami disorientasi, tidak sadar; bertukar tempat tidur/kamar/lokasi di  rumah sakit, adanya kelainan sensori; atau akibat situasi lain. Maksud sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan: pertama untuk  identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima  pelayanan atau pengobatan; dan kedua, untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan dan/atau prosedur yang secara kolaboratoriumoratif dikembangkan untuk memperbaiki proses identifikasi, khususnya pada proses untuk mengidentifikasi pasien ketika pemberian obat, darah/produk darah; pengambilan darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis; memberikan pengobatan atau tindakan lain. Kebijakan dan/atau prosedur memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi seorang pasien, seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien dengan bar-code, dan lain-lain.
Nomor kamar pasien atau lokasi tidak bisa digunakan untuk identifikasi. Kebijakan dan/atau prosedur juga menjelaskan penggunaan dua identitas yang berbeda pada lokasi yang berbeda  di rumah sakit, seperti di pelayanan rawat jalan, unit gawat darurat, atau kamar  operasi, termasuk identifikasi pada pasien koma tanpa identitas. Suatu proses kolaboratoriumoratif digunakan untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi dapat diidentifikasi.
Sasaran II.: Peningkatan Komunikasi yang Efektif
Komunikasi efektif, yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas, dan yang dipahami oleh pasien, akan mengurangi kesalahan, dan menghasilkan peningkatan keselamatan pasien. Komunikasi dapat berbentuk  elektronik, lisan, atau tertulis. Komunikasi yang mudah terjadi kesalahan kebanyakan  terjadi  pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telpon. Komunikasi  yang mudah terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis, seperti  melaporkan  hasil laboratorium klinik cito melalui telpon ke unit pelayanan.
Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon termasuk:  mencatat/(memasukkan ke komputer) perintah secara lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah; kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan; dan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat. Kebijakan dan/atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan   tidak melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan situasi gawat darurat di IGD atau ICU.
Sasaran III.:   Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu Diwaspadai (High-Alert)
Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan pasien, manajemen harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan/kesalahan serius (sentinel event), obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA).
Obat-obatan yang sering disebutkan dalam issue keselamatan pasien adalah pemberian elektrolit konsentrat secara  tidak sengaja (misalnya, kalium klorida 2meq/ml atau yang lebih pekat, kalium fosfat, natrium klorida lebih pekat dari 0.9%, dan magnesium sulfat =50% atau lebih pekat-). Kesalahan ini bisa terjadi bila perawat tidak mendapatkan orientasi dengan baik di unit pelayanan pasien, atau bila perawat kontrak tidak diorientasikan  terlebih dahulu  sebelum ditugaskan, atau pada keadaan gawat darurat. Cara yang paling efektif untuk mengurangi atau mengeliminasi kejadian tsb adalah dengan meningkatkan proses pengelolaan obat-obat yang perlu diwaspadai termasuk memindahkan elektrolit konsentrat dari unit pelayanan pasien ke farmasi.
Rumah sakit secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit. Kebijakan dan/atau prosedur juga mengidentifikasi  area mana saja  yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau kamar operasi serta  pemberian laboratoriumel secara benar  pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya di area tersebut, sehingga membatasi akses untuk mencegah pemberian yang tidak disengaja/kurang hati-hati.
Sasaran IV.: Kepastian Tepat-Lokasi, Tepat-Prosedur, Tepat-Pasien Operasi
Salah-lokasi, salah-prosedur, salah pasien pada operasi, adalah sesuatu yang mengkhawatirkan dan  tidak jarang terjadi di rumah sakit. Kesalahan ini adalah akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau tidak adekuat  antara anggota tim bedah, kurang/tidak melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking), dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu pula asesmen pasien yang tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis tidak adekuat, budaya yang tidak mendukung komunikasi terbuka antar anggota tim bedah, permasalahan yang berhubungan dengan resep yang tidak terbaca (illegible handwriting) dan pemakaian singkatan adalah merupakan faktor-faktor kontribusi yang sering terjadi.
Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratoriumoratif mengembangkan suatu kebijakan dan/atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga praktek berbasis bukti, seperti yang digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person Surgery.
Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan  secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat oleh operator /orang yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika memungkinkan, dan harus terlihat  sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi ditandai dilakukan pada semua kasus termasuk sisi  (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi), atau  multipel level  (tulang belakang).
Maksud proses verifikasi praoperatif adalah untuk:
  • Memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar;
  • Memastikan bahwa semua dokumen, foto (imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia, diberi laboratoriumel dengan baik, dan dipampang;
  • Lakukan verifikasi ketersediaan setiap peralatan khusus dan/atau implant-implant yang dibutuhkan.
Tahap “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau kekeliruan diselesaikan. Time out dilakukan di tempat, dimana tindakan akan dilakukan,  tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan ceklist. 
Sasaran V.: Pengurangan Risiko Infeksi Terkait Pelayanan Kesehatan
Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan, dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan  keprihatinan besar bagi pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanya dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah (blood stream infections) dan pneumonia (sering kali dihubungkan dengan ventilasi mekanis).
Pokok  eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa di baca di kepustakaan  WHO, dan berbagai organisasi nasional dan intemasional.
Rumah sakit mempunyai proses kolaboratoriumoratif untuk mengembangkan kebijakan dan/atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand hygiene yang sudah  diterima secara umum untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.
Sasaran VI.:  Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera pasien rawat inap. Dalam konteks populasi/masyarakat yang dilayani,  pelayanan yang diberikan, dan fasilitasnya, rumah sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah terhadap konsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan yang digunakan oleh pasien. Program tersebut harus diterapkan di rumah sakit.
5.     Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit
Mengacu kepada standar keselamatan pasien, maka rumah sakit harus merancang proses baru atau memperbaiki proses yang ada, memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif insiden, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.
Proses perancangan tersebut harus mengacu pada visi, misi, dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien, petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini, praktik bisnis yang sehat, dan faktor-faktor lain yang berpotensi risiko bagi pasien sesuai dengan “Tujuh Langkah Keselamatan Pasien Rumah Sakit”.
Tujuh langkah keselamatan pasien rumah sakit merupakan panduan yang komprehensif untuk menuju keselamatan pasien, sehingga tujuh langkah tersebut secara menyeluruh harus dilaksanakan oleh setiap rumah sakit. Dalam pelaksanaan, tujuh langkah tersebut tidak harus berurutan dan tidak harus serentak. Pilih langkah-langkah yang paling strategis dan paling mudah dilaksanakan di rumah sakit. Bila langkah-langkah ini berhasil maka kembangkan langkah-langkah yang belum dilaksanakan. Bila tujuh langkah ini telah dilaksanakan dengan baik rumah sakit dapat menambah penggunaan metoda-metoda lainnya.
Uraian Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
A.      Membangun Kesadaran Akan Nilai Keselamatan Pasien
Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.
  1. Bagi Rumah Sakit:
Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan apa yang harus dilakukan staf segera setelah terjadi insiden, bagaimana langkah-langkah pengumpulan fakta harus dilakukan dan dukungan apa yang harus diberikan kepada staf, pasien dan keluarga.
1)         Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang menjabarkan peran dan akuntabilitas individual bilamana ada insiden.
2)         Tumbuhkan budaya pelaporan dan belajar dari insiden yang terjadi di rumah sakit.
3)         Lakukan asesmen dengan menggunakan survei penilaian keselamatan pasien.
  1. Bagi Unit/Tim:
1)      Pastikan rekan sekerja anda merasa mampu untuk berbicara
2)      mengenai kepedulian mereka dan berani melaporkan bilamana ada insiden.
3)      Demonstrasikan kepada tim anda ukuran-ukuran yang dipakai di rumah sakit anda untuk memastikan semua laporan dibuat secara terbuka dan terjadi proses pembelajaran serta pelaksanaan tindakan/solusi yang tepat.
B.      Memimpin Dan Mendukung Staf
Pimpinan melakukan pencanangan/deklarasi program keselamatan pasien RS RS membentuk komite/tim/panitia keselamatan pasien yang bertugas mengkoordinasikan dan melaksanakan program keselamatan pasien di RS.  Pimpinan melakukan rapat koordinasi multi disiplin secara berkala untuk menilai perkembangan program keselamatan pasien.
Pimpinan melakukan ronde keselamatan pasien (patient safety walk around) secara rutin, diikuti berbagai unsure terkait. Setiap timbang terima antar shift dilakukan briefing untuk mengidentifikasi risiko keselamatan pasien dan debriefing untuk meminitor risiko tersebut.
Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang Keselamatan Pasien di rumah sakit. Pimpinan memilih dan menetapkan champion disetiap unit/bagian sebagai motor penggerak pelaksanaan program keselamatan pasien di RS.
  1. Untuk Rumah Sakit:
1)      Pastikan ada anggota Direksi atau Pimpinan yang bertanggung jawab atas Keselamatan Pasien
2)      Identifikasi di tiap bagian rumah sakit, orang-orang yang dapat diandalkan untuk menjadi “penggerak” dalam gerakan Keselamatan Pasien
3)      Prioritaskan Keselamatan Pasien dalam agenda rapat Direksi/Pimpinan maupun rapat-rapat manajemen rumah sakit
4)      Masukkan Keselamatan Pasien dalam semua program latihan staf rumah sakit anda dan pastikan pelatihan ini diikuti dan diukur efektivitasnya.
  1. Untuk Unit/Tim:
1)      Nominasikan “penggerak” dalam tim anda sendiri untuk memimpin Gerakan Keselamatan Pasien
2)      Jelaskan kepada tim anda relevansi dan pentingnya serta manfaat bagi mereka dengan menjalankan gerakan Keselamatan Pasien
3)      Tumbuhkan sikap ksatria yang menghargai pelaporan insiden.
C.      Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko
Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta lakukan identifikas dan asesmen hal yang potensial bermasalah.
  1. Untuk Rumah Sakit:
1)      Telaah kembali struktur dan proses yang ada dalam manajemen risiko klinis dan nonklinis, serta pastikan hal tersebut mencakup dan terintegrasi dengan Keselamatan Pasien dan staf;
2)      Kembangkan indikator-indikator kinerja bagi sistem pengelolaan risiko yang dapat dimonitor oleh direksi/pimpinan rumah sakit;
3)      Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan insiden dan asesmen risiko untuk dapat secara proaktif meningkatkan kepedulian terhadap pasien.
  1. Untuk Unit/Tim:
1)      Bentuk forum-forum dalam rumah sakit untuk mendiskusikan isu-isu Keselamatan Pasien guna memberikan umpan balik kepada manajemen yang terkait;
2)      Pastikan ada penilaian risiko pada individu pasien dalam proses asesmen risiko rumah sakit;
3)      Lakukan proses asesmen risiko secara teratur, untuk menentukan akseptabilitas setiap risiko, dan ambillah langkah-langkah yang tepat untuk memperkecil risiko tersebut;
4)      Pastikan penilaian risiko tersebut disampaikan sebagai masukan ke proses asesmen dan pencatatan risiko rumah sakit.
D.      Mengembangkan Sistem Pelaporan
Memastikan staf dapat melaporkan kejadian/ insiden, serta rumah sakit mengatur pelaporan kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
  1. Untuk Rumah Sakit:
Lengkapi rencana implementasi sistem pelaporan insiden ke dalam maupun ke luar, yang harus dilaporkan ke Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
  1. Untuk Unit/Tim:
Berikan semangat kepada rekan sekerja anda untuk secara aktif melaporkan setiap insiden yang terjadi dan insiden yang telah dicegah tetapi tetap terjadi juga, karena mengandung bahan pelajaran yang penting.
E.      Melibatkan dan Berkomunikasi dengan Pasien
Mengembangkan cara-cara komunikasi yang terbuka dengan pasien.
  1. Untuk Rumah Sakit:
1)      Pastikan rumah sakit memiliki kebijakan yang secara jelas menjabarkan cara-cara komunikasi terbuka selama proses asuhan tentang insiden dengan para pasien dan keluarganya.
2)      Pastikan pasien dan keluarga mereka mendapat informasi yang benar dan jelas bilamana terjadi insiden.
3)      Berikan dukungan, pelatihan dan dorongan semangat kepada staf agar selalu terbuka kepada pasien dan keluarganya.
  1. Untuk Unit/Tim:
1)      Pastikan tim anda menghargai dan mendukung keterlibatan pasien dan keluarganya bila telah terjadi insiden
2)      Prioritaskan pemberitahuan kepada pasien dan keluarga bilamana terjadi insiden, dan segera berikan kepada mereka informasi yang jelas dan benar secara tepat
3)      Pastikan, segera setelah kejadian, tim menunjukkan empati kepada pasien dan keluarganya.
F.      Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan Pasien
Mendorong staf untuk melakukan analisis akar masalah untuk belajar bagaimana dan mengapa kejadian itu timbul.
  1. Untuk Rumah Sakit:
1)      Pastikan staf yang terkait telah terlatih untuk melakukan kajian insiden secara tepat, yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi penyebab.
2)      Kembangkan kebijakan yang menjabarkan dengan jelas criteria pelaksanaan Analisis Akar Masalah (root cause analysis/RCA) yang mencakup insiden yang terjadi dan minimum satu kali per tahun melakukan Failure Modes and Effects Analysis (FMEA) untuk proses risiko tinggi.
  1. Untuk Unit/Tim:
1)      Diskusikan dalam tim anda pengalaman dari hasil analisis insiden.
2)      Identifikasi unit atau bagian lain yang mungkin terkena dampak di masa depan dan bagilah pengalaman tersebut secara lebih luas.
G.      Mencegah Cedera Melalui Implementasi Sistem Keselamatan Pasien
Menggunakan informasi yang ada tentang kejadian/masalah untuk melakukan perubahan pada sistem pelayanan.
  1. Untuk Rumah Sakit:
1)      Gunakan informasi yang benar dan jelas yang diperoleh dari sistem pelaporan, asesmen risiko,  kajian insiden, dan audit serta analisis, untuk menentukan solusi setempat.
2)      Solusi tersebut dapat mencakup penjabaran ulang system (struktur dan proses), penyesuaian pelatihan staf dan/atau kegiatan klinis, termasuk penggunaan instrumen yang menjamin keselamatan pasien.
3)      Lakukan asesmen risiko untuk setiap perubahan yang direncanakan.
4)      Sosialisasikan solusi yang dikembangkan oleh Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit.
5)      Beri umpan balik kepada staf tentang setiap tindakan yang diambil atas insiden yang dilaporkan.
                Untuk Unit/Tim:
1)      Libatkan tim anda dalam mengembangkan berbagai cara untuk membuat asuhan pasien menjadi lebih baik dan lebih aman.
2)      Telaah kembali perubahan-perubahan yang dibuat tim anda dan pastikan pelaksanaannya.
3)      Pastikan tim anda menerima umpan balik atas setiap tindak lanjut tentang insiden yang dilaporkan.
6.     Insiden keselamatan pasien
Insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri dari:
  1. Kejadian Tidak Diharapkan, selanjutnya disingkat KTD adalah insiden yang mengakibatkan cedera pada pasien.
  2. Kejadian Nyaris Cedera, selanjutnya disingkat KNC adalah terjadinya insiden yang belum sampai terpapar ke pasien.
  3. Kejadian Tidak Cedera, selanjutnya disingkat KTC adalah insiden yang sudah terpapar ke pasien, tetapi tidak timbul cedera.
  4. Kondisi Potensial Cedera, selanjutnya disingkat KPC adalah kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan cedera, tetapi belum terjadi insiden.
  5. Kejadian sentinel adalah suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera yang serius.
7.    Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien, Analisis dan Solusi
Pelaporan insiden adalah suatu sistem untuk mendokumentasikan laporan insiden keselamatan pasien, analisis dan solusi untuk pembelajaran. Sistem pelaporan insiden dilakukan secara internal di rumah sakit dan eksternal kepada Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) sampai terbentuknya Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Dalam Pasal 17 permenkes no 1691 tahun 2011 ayat (1) menyatakan “Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit yang telah ada dan dibentuk oleh Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) masih tetap melaksanakan tugas sepanjang Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit belum terbentuk”
Laporan Insiden keselamatan pasien Internal adalah pelaporan secara tertulis setiap kondisi potensial cedera dan insiden yang menimpa pasien, keluarga pengunjung, maupun karyawan yang terjadi di rumah sakit. Laporan insiden keselamatan pasien eksternal KKP-RS. Pelaporan secara anonim dan tertulis ke KKP-RS setiap Kondisi Potensial cedera dan Insiden Keselamatan Pasien yang terjadi pada pasien, dan telah dilakukan analisa penyebab, rekomendasi dan solusinya.
Pelaporan insiden bertujuan untuk menurunkan insiden dan mengoreksi sistem dalam rangka meningkatkan keselamatan pasien dan tidak untuk menyalahkan orang (non blaming). Setiap insiden harus dilaporkan secara internal kepada TKPRS dalam waktu paling lambat 2×24 jam sesuai format laporan.
TKPRS melakukan analisis dan memberikan rekomendasi serta solusi atas insiden yang dilaporkan dan melaporkan hasil kegiatannya kepada kepala rumah sakit. Rumah sakit harus melaporkan insiden, analisis, rekomendasi dan solusi Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) secara tertulis kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai format laporan:
-          Klik Banner Laporan Insiden Rumah Sakit di sebelah kanan atas.
-          Setelah tampil terdapat 2 isian yang perlu diperhatikan yaitu :
-          Bagi Rumah Sakit yang telah mempunyai kode rumah sakit untuk melanjutkan ke form laporan Insiden keselamatan pasien KKP-RS
-          Bagi Rumah sakit yang belum mempunyai kode rumah sakit diharapkan mengisi Form data isian RS  untuk mendapatkan kode rumah sakit yang dapat digunakan untuk melanjutkan ke form Laporan Insiden, KKP-RS.
Sistem pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus dijamin keamanannya, bersifat rahasia, anonym (tanpa identitas), tidak mudah diakses oleh yang tidak berhak. Pelaporan insiden kepada Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit mencakup KTD, KNC, dan KTC, dilakukan setelah analisis dan mendapatkan rekomendasi dan solusi dari TKPRS.
Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit melakukan pengkajian dan memberikan umpan balik (feedback) dan solusi atas laporan yang sampaikan oleh rumah sakit.
Empat Prinsip Penting Pelaporan Insiden:
  1. Fungsi utama pelaporan Insiden adalah untuk meningkatkan Keselamatan Pasien melalui pembelajaran dari kegagalan/ kesalahan.
  2. Pelaporan Insiden harus aman. Staf tidak boleh dihukum karena melapor
  3. Pelaporan Insiden hanya akan bermanfaat kalau menghasilkan respons yang konstruktif. Minimal memberi umpan balik ttg data KTD & analisisnya. Idealnya, juga menghasilkan rekomendasi utk perubahan proses/SOP dan sistem.
Analisis yang baik & proses pembelajaran yang berharga memerlukan keahlian/keterampilan. Tim KPRS perlu menyebarkan informasi, rekomendasi perubahan, pengembangan solusi.
Karakteristik laporan:
  1. Bersifat tidak menghukum: Pelapor bebas dari rasa takut dan pembalasan dendam atau hukuman sebagai akibat laporannya
  2. Rahasia: Identitas pasien, pelapor dan institusi disembunyikan
  3. Independen: sistem pelaporan yang independen bagi pelapor dan organisasi dari hukuman.
  4. Expert analysis: laporan di evaluasi oleh ahli yang menguasai masalah klinis dan telah terlatih untuk mengenal penyebab system yang utama.
  5.  Tepat waktu: Laporan dianalisa segera dan rekomendasinya didesiminasikan secepatnya, khususnya bila terjadi bahaya serius.
  6. Orientasi sistem: Rekomendasi lebih berfokus kepada perbaikan dalam system, proses, atau produk daripada terhadap individu
  7. Responsif: Lembaga yang menerima laporan merupakan lembaga yang punya kapasitas memberikan rekomendasi.
8. Pendekatan Komprehensif dalam Pengkajian Keselamatan Pasien
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan, peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi: Cek telah terdapat kebijakan dan prosedur tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.
• Fasilitas: Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?
• Persediaan: Apakah hal-hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang emergency, ruang ICU
2. Lingkungan
• Pencahayaan dan permukaan: berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera
• Temperature: pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen
• Kebisingan: lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat perawat sedang memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien
• Ergonomic dan fungsional: ergonomic berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera. Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan pasien.
3. Peralatan dan teknologi
• Fungsional: perawat harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk mengoperasikan alat secara tepat dan benar.
• Keamanan: Alat-alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat meningkatkan keselamatan pasien.
4. Proses
• Desain kerja: Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan research based practice yang diimplementasikan.
• Karakteristik risiko tinggi: melakukan tindakan keperawatan yang terus-menerus saat praktek akan menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu system pengingat untuk mengurangi kesalahan
• Waktu: waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien-pasien emergency oleh karena itu pada saat-saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien selamat atau tidak.
• Perubahan jadual dinas perawat juga berdampak terhadap keselamatan pasien karena perawat sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostic atau ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau tromblolitik, keterlambatan akan mempengaruhi terhadapap diagnosis dan pengobatan.
• Efisiensi: keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
• Sikap dan motivasi: sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap dan motivasi yang negative akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.
• Kesehatan fisik: kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.
• Kesehatan mental dan emosional: hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan dan masalah pasien. tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan – kesalahan dalam bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan: perawat memerlukan pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat-alat kesehatan dengan teknologi baru dan perawatan penyakit-penyakit yang sebelumnya belum tren seperti perawatan flu babi (swine flu).
• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi: kognitif sangat berpengaruh terhadap pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah baru mengkomunikasikan hal-hal yang baru.
6. Budaya
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan pasien.
• Pilosofi tentang keamanan: keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan
• Jalur komunikasi: jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima laporan).
• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur komunikasi yang jelas.
• Staff-kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting adalah system kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan sakit
9.    Alur Sirkulasi Pasien di Rumah Sakit
Alur Sirkulasi Pasien dalam Rumah Sakit adalah sebagai berikut:
  1. Pasien masuk rumah sakit melakukan pendaftaran/ admisi pada instalasi rawat jalan (poliklinik) atau pada instalasi gawat darurat apabila pasien dalam kondisi gawat darurat yang membutuhkan pertolongan medis segera/ cito.
  2. Pasien yang mendaftar pada instalasi rawat jalan akan diberikan pelayanan medis pada klinik-klinik tertentu sesuai dengan penyakit/ kondisi pasien.
  • Pasien dengan diagnosa penyakit ringan setelah diberikan pelayanan medis selanjutnya dapat langsung pulang.
  • Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Setelah mendapatkan hasil foto radiologi dan atau laboratorium, pasien mendaftar kembali ke instalasi rawat jalan sebagai pasien lama.
  • Selanjutnya apabila harus dirawat inap akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya akan didiagnosa lebih mendetail ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Kemudian jika pasien harus ditindak bedah, maka pasien akan dijadwalkan ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang
  • Pasien kebidanan dan penyakit kandungan tingkat lanjut akan dirujuk ke instalasi kebidanan dan penyakit kandungan. Apabila harus ditindak bedah, maka pasien akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap kebidanan. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah. Setelah pasien sehat dapat pulang.
  1. Pasien melalui instalasi gawat darurat akan diberikan pelayanan medis sesuai dengan kondisi kegawat daruratan pasien.
  • Pasien dengan tingkat kegawatdaruratan ringan setelah diberikan pelayanan medis dapat langsung pulang.
  • Pasien dengan kondisi harus didiagnosa lebih mendetail akan dirujuk ke instalasi radiologi dan atau laboratorium. Selanjutnya apabila harus ditindak bedah, maka pasien akan dikirim ke ruang bedah. Pasca bedah, untuk pasien yang kondisinya belum stabil akan dikirim ke ruang Perawatan Intensif, pasien yang kondisinya stabil akan dikirim ke ruang rawat inap. Selanjutnya pasien meninggal akan dikirim ke instalasi pemulasaraan jenazah, pasien sehat dapat pulang.
10.       Pendidikan dan Pelatihan
RS menyelenggarakan pendidikan & pelatihan yang berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan interdisiplin dalam pelayanan pasien. RS mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam setiap kegiatan in-service training.
RS melaksanakan program pengembangan dan pelatihan staf secara konsisten. RS melakukan workshop keselamatan pasien secara in-house training dan melibatkan Tim KKPRS atau mengirim 2-3 orang staf untuk mengikuti workshop keselamatan pasien yang diselenggarakan KKPRS-PERSI.
RS mempunyai program orientasi yang memuat topik keselamatan pasien bagi staf yang baru masuk/pindahan/mahasiswa. Staf yang bertugas di unit khusus (ICU, ICCU, IGD, HD, NICU, PICU, OK) harusmendapat pelatihan keselamatan pasien.
 11.    Penutup
Keamanan adalah prinsip yang paling fundamental dalam pemberian pelayanan kesehatan maupun keperawatan, dan sekaligus aspek yang paling kritis dari manajemen kualitas.  Keselamatan pasien (patient safety) adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Sistem tersebut meliputi pengenalan risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden, tindak lanjut dan implementasi solusi untuk meminimalkan risiko.
Sebenarnya petugas kesehatan tidak bermaksud menyebabkan cedera pasien, tetapi fakta tampak bahwa di bumi ini setiap hari ada pasien yang mengalami KTD (Kejadian Tidak Diharapkan). KTD, baik yang tidak dapat dicegah (non error) maupun yang dapat dicegah (error), berasal dari berbagai proses asuhan pasien.
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh Join Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Pada akhirnya untuk mewujudkan keselamatan pasien butuh upaya dan kerjasama berbagai pihak dari seluruh komponen pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 2008, Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
_____. 2008, Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP) (Patient Safety Incident Report), 2 edn, Bakti Husada, Jakarta.
IOM, 2000. To Err Is Human: Building a Safer Health System
_____, 2004. Patient Safety: Achieving a New Standard for Care
Kemkes RI. 2010. Pedoman Teknis Fasilitas Rumah Sakit Kelas B. Pusat Sarana, Prasarana dan Peralatan Kesehatan, Sekretariat Jenderal, KEMKES-RI
Millar, J, et al 2004, ‘Selecting Indicators for Patient Safety at the Health Systems Level in OECD Countries’. DELSA/ELSA/WD/HTP, Paris, OECD Health Technical Paper.
Manojlovich, M, et al 2007, ‘Healthy Work Environment, Nurse-Phycisian Communication, and Patient’s Outcomes’, American Journal of Critical Care vol. 16, pp. 536-43.
Pallas, LOB, et al 2005, Nurse-Physician Relationship Solutions and Recomendation for Change, Nursing Health Services Research Unit, Ontario. database.
Parwijanto, H 2008, ‘Kajian Komunikasi Dalam Organisasi’, in Perilaku Organisasi. uns.ac.id, Jakarta, 10 Desember 2009.
Robbins, SP 2003, Perilaku Organisasi, 10 edn, PT. Indeks Gramedia, Jakarta.
Vazirani, S, et al 2005, ‘Effect of A Multidicpinary Intervention on Communication and Collaboratoriumoration’, American Journal of Critical Care, Proquest Science Journal, vol. 14, p. 71.
Wakefield, JG & Jorm, CM 2009, ‘Patient Safety – a balanced measurements framework’, Australian Health Review, vol. 33, no. 3.
Yahya, A. 2009 Integrasikan Kegiatan Manajemen Risiko. Workshop Keselamatan Pasien&Manajemen Risiko Klinis. PERSI: KKP-RS.

  (Majelis ke 2) FAQIR (Fathur-Rabbany) بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ   اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورس...