Terangkan apakah Kubur
yang berjalan bersama Penghuninya?
Jawab:
Ali bin abu tholib terhadap
pendeta itu: jawaban
pertama “Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta,” jawab Ali bin Abi Thalib. “Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh
samudera!”.
2. Apakah
Mahkluk yang dapat mengingatkan bangsanya, bukan dalam kalangan Jin dan Manusia?
Jawab:
dari Ali bin Abi Thalib
menjawab: “Makhluk
itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu
berkata kepada kaumnya: “Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman
kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan
mereka tidak sadar!”
3. Apakah lima Makhluk yang
berjalan di muka bumi ini, tetapi tidak satupun lahir dari kandungan ibunya?
Jawab:
dari Ali bin Abi Thalib
menjawab: “Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam.
Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima,
Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular).”
4. Siapa Ashabul Kahfi itu?
Jawab:
Ali bin Ali Thalib menjawab: “Hai pendeta
Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah
dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan
kisah mereka itu.”
Pendeta Yahudi itu menyahut: “Aku sudah
banyak mendengar tentang Qur’an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar
tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka,
nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua
kisah mereka dari awal sampai akhir!”
Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan
duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang
diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: “Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul
Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di
negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama
Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru
setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang
terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai
seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya
didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang
amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan
pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu
dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana.”
1.
Baru
sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: “Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!”
Ali bin Abi Thalib menerangkan: “Hai saudara
Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar.
Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh.
Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan
lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas.
Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap
malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah
timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula
di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam
selalu dapat menerangi serambi. Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari
emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia
80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan
duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas,
untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di
atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala.”
Sampai di situ pendeta yang bersangkutan
berdiri lagi sambil berkata: “Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan
kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Imam Ali
menerangkan, “mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9
buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang
pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan
baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna
hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing
diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain
mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil
suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah
kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri.”
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu
berkata: “Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam
orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!”
Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab:
“Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang
yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina,
dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding
dengan mereka mengenai segala urusan.
Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi
istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang
pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga.
Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung
ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala
yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu
ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis
dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan
suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang
berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam
piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi
isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja,
sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.
Demikianlah raja itu berada di atas
singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah
diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut,
demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri
sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku
diri sebagai “tuhan” dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu kemudian memanggil orang-orang
terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi
pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau
taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh
sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup
lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka
tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja
sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba
masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk
menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan
peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa
disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu
sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang
berdiri di sebelah kanan –seorang cerdas yang bernama Tamlikha– memperhatikan
keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam
hati: “Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya,
tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air
besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.”
Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu
mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran.
Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya.
Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha
sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: “Hai Tamlikha,
mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?”
“Teman-teman,” sahut Tamlikha, “hatiku sedang
dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum,
juga tidak ingin tidur.”
Teman-temannya mengejar: “Apakah yang
merisaukan hatimu, hai Tamlikha?”
“Sudah lama aku memikirkan soal langit,” ujar
Tamlikha menjelaskan. “Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: ‘siapakah yang
mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa
gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu
dengan bintang-bintang bertaburan?’ Kemudian kupikirkan juga bumi ini:
‘Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?’ Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: ‘Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius’…”
Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di
hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: “Hai Tamlikha dalam hati
kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu,
baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!”
“Saudara-saudara,” jawab Tamlikha, “baik aku
maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang
dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!”
“Kami setuju dengan pendapatmu,” sahut
teman-temannya.
Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi
untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3
dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat
berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota,
Tamlikha berkata kepada teman-temannya: “Saudara-saudara, kita sekarang sudah
terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari
kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan
kita serta memberikan jalan keluar.”
Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu
berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena
tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba datanglah seorang penggembala
menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: “Hai penggembala,
apakah engkau mempunyai air minum atau susu?”
“Aku mempunyai semua yang kalian inginkan,”
sahut penggembala itu. “Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum
bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan
kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!”
“Ah…, susahnya orang ini,” jawab mereka.
“Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan
selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?”
“Ya,” jawab penggembala itu.
Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan
semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu
segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia
berkata: “Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati
kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan
kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi
kepada kalian.”
Tamlikha bersama teman-temannya berhenti.
Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya.
Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing
miliknya.”
Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta
Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: “Hai Ali, jika
engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah
namanya?”
“Hai saudara Yahudi,” kata Ali bin Abi Thalib
memberitahukan, “kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan
teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan
kata-kata dengan lancar dan jelas sekali: “Hai orang-orang, mengapa kalian
hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada
sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan
berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t.”
Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka
lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama
mereka mendekati sebuah gua.”
Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu,
bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: “Apakah nama gunung itu dan
apakah nama gua itu?!”
Imam Ali menjelaskan: “Gunung itu bernama
Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!”
Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya:
secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur
mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di
tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua.
Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil
menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah
s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada
masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk
membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan
matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari
arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan
mereka dari arah kiri.
Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja
selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat
jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama
80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar
sedang tidur.
Kepada para pengikutnya ia berkata: “Kalau
aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat
dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!”
Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka
diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam
semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: “Katakanlah
kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak
berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar
mereka dikeluarkan dari tempat itu.”
Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal
selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau,
Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: “Malam tadi kami lupa
beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!”
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba
mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun
sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar.
Mereka saling bertanya: “Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia
berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan
pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang
dimasak dengan lemak-babi.”
Tamlikha kemudian berkata: “Hai saudara-saudara,
aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala,
berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!”
Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia
berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama
sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah
diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau
berkibar di angkasa bertuliskan: “Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh
Allah.”
Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera
itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: “Kusangka aku ini
masih tidur!” Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia
meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil.
Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah
pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: “Hai tukang roti, apakah nama
kota kalian ini?”
“Aphesus,” sahut penjual roti itu.
“Siapakah nama raja kalian?” tanya Tamlikha
lagi. “Abdurrahman,” jawab penjual roti.
“Kalau yang kau katakan itu benar,” kata
Tamlikha, “urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah
makanan kepadaku!”
Melihat uang itu, penjual roti
keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang
ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian
berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: “Hai Ali, kalau
benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama
itu dibanding dengan uang baru!”
Imam Ali menerangkan: “Kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha
dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua
pertiga dirham baru!”
Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya:
Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: “Aduhai, alangkah beruntungnya aku!
Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku!
Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!”
“Aku tidak menemukan harta karun,” sangkal
Tamlikha. “Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah
kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang
semuanya menyembah Diqyanius!”
Penjual roti itu marah. Lalu berkata: “Apakah
setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa
uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja
durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari
300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?”
Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa
pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan
bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: “Bagaimana
cerita tentang orang ini?”
“Dia menemukan harta karun,” jawab
orang-orang yang membawanya.
Kepada Tamlikha, raja berkata: “Engkau tak
perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima
saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan
selanjutnya engkau akan selamat.”
Tamlikha menjawab: “Baginda, aku sama sekali
tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!”
Raja bertanya sambil keheran-heranan: “Engkau
penduduk kota ini?”
“Ya. Benar,” sahut Tamlikha.
“Adakah orang yang kau kenal?” tanya raja
lagi.
“Ya, ada,” jawab Tamlikha.
“Coba sebutkan siapa namanya,” perintah raja.
Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000
orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain
yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: “Ah…, semua itu bukan nama orang-orang
yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di
kota ini?”
“Ya, tuanku,” jawab Tamlikha. “Utuslah
seorang menyertai aku!”
Raja kemudian memerintahkan beberapa orang
menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah
yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada
orang yang mengantarkan: “Inilah rumahku!”
Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah
seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya
sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah
terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang
datang: “Kalian ada perlu apa?”
Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut:
“Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!”
Orang tua itu marah, memandang kepada
Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: “Siapa namamu?”
“Aku Tamlikha anak Filistin!”
Orang tua itu lalu berkata: “Coba ulangi
lagi!”
Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba
orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: “Ini adalah
datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri
dari Diqyanius, raja durhaka.” Kemudian diteruskannya dengan suara haru: “Ia
lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita,
Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan
bahwa mereka itu akan hidup kembali!”
Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu
kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang
menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah
melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke
atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki
Tamlikha sambil bertanya-tanya: “Hai Tamlikha, bagaimana keadaan
teman-temanmu?”
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa
semua temannya masih berada di dalam gua.
“Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua
orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi
beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing
pergi membawa Tamlikha menuju ke gua,” demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.
Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan
dan para pengikut mereka: “Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar
suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius
datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di
sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!”
Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk
seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri
kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata:
“Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!”
Tamlikha menukas: “Ada urusan apa dengan
Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?”
“Kami tinggal sehari atau beberapa hari
saja,” jawab mereka.
“Tidak!” sangkal Tamlikha. “Kalian sudah
tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi
demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman
kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan
kalian!”
Teman-teman Tamlikha menyahut: “Hai Tamlikha,
apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh
jagad?”
“Lantas apa yang kalian inginkan?” Tamlikha
balik bertanya.
“Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan
berbuat seperti itu juga,” jawab mereka.
Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke
atas, kemudian berdoa: “Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan
kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah
kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!”
Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka.
Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah
s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang
menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari
untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang
atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi
menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua,
sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.
Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata:
“Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat
ibadah di pintu gua itu.”
Sedang bangsawan yang beragama Nasrani
berkata pula: “Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan
sebuah biara di pintu gua itu.”
Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan
setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh
bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah
berfirman:
Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka,
supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu
tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam
urusan mereka, maka mereka berkata, “Binalah di atas mereka satu bangunan;
Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka.” Berkata orang-orang yang
menguasai atas urusan mereka, “Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid.”
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib
berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta
Yahudi yang menanyakan kisah itu: “Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi
dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah
semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?”
Pendeta Yahudi itu menjawab: “Ya Abal Hasan,
engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang
engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi
bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta
Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di
kalangan ummat ini!”
Demikianlah hikayat tentang
para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang
tercantum dalam kitab Fadha ‘ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As
Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu
pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
5. Apa itu 7 Rahasia
Langit?
Jawab:
,“Induk kunci itu,” jawab
Ali bin Abi Thalib, “ialah
syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat
Allah!”
1.
Para
pendeta Yahudi bertanya lagi: “Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu
langit?”
Ali bin Abi Thalib menjawab: “Anak kunci itu
ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah
Rasul Allah!”
Para pendeta Yahudi itu
saling pandang di antara mereka, sambil berkata: “Orang itu benar