Rabu, 26 Februari 2020

Bai’atur Ridwan

Perstiwa Baitur Ridwan

Dimulai saat Rasulullah SAW memanggil Umar bin Khattab r.a dengan maksud mengutusnya ke negeri Mekkah untuk menyampaikan pesan beliau kepada para pembesar Quraisy tentang keinginan beliau dan para sahabatnya untuk berziarah ke Baitullah. Kemudian Umar mengatakan “Wahai Rasulullah, aku takut orang-orang Quraisy akan menimpakan sesuatu terhadap diriku. Sedangkan di kota Mekkah tidak ada seorang pun dari Bani Adi yang akan menolongku. Sedangkan orang-orang Quraisy telah mengetahui bagaimana kebencian dan amarahku pada mereka. Akan tetapi aku akan menunjukkan kepada engkau seseorang yang lebih terhormat di kalangan mereka daripada aku, yaitu Utsman bin Affan r.a. Kita utus dia untuk menemui Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy lainnya untuk memberi kabar kepada mereka bahwa dia tidak datang kepada mereka untuk berperang, akan tetapi dia datang untuk menziarahi Baitullah dan mengagungkan kehormatannya”. Maka Utsman pun pergi menuju kota Mekkah. Utsman bin Affan r.a bertemu dengan Aban bin Sa`id bin Ash yang  kemudian menemaninya hingga beliau dapat menyampaikan surat dari Rasulullah SAW.
Kemudian Utsman bin Affan datang menjumpai Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy yang lain seraya memberitakan kepada mereka tentang surat yang dikirimkan kepada mereka. Mereka lalu mengatakan kepada Utsman bin Affan “Bila anda hendak berthawaf di Baitullah, maka berthawaflah”, Utsman mengatakan “Aku tidak akan melakukannya hingga Rasulullah SAW berthawaf”. Orang-orang Quraisy kemudian menahan Utsman bin Affan di sisi Kakbah. Maka sampailah berita kepada Rasulullah SAW dan kaum muslimin bahwa Utsman telah dibunuh. Ibnu Ishaq mengatakan”Abdullah bin Abu Bakar telah menceritakan kepadaku bahwa ketika sampai berita terbunuhnya Utsman kepada Rasulullah SAW maka beliau bersabda “Kita tidak akan tinggal diam sehingga kita berperang dengan kaum itu”
Ayat ini turun karena suatu peristiwa diatas.
Terjadinya Bai’atur Ridwan (Al-Fath. Ayat 8-10)
8  Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan,
9  supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang.
10 Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

Baitur Ridwan sebagai Janji Setia yang Agung

 

Allah berfirman di QS Al Fath ayat 10 “Bahwasanya orang-orang yang  berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.

      Janji setia yang disebutkan dalam ayat ini adalah janji Baitur Ridhwan yang dilakukan di bawah sebuah pohon yang terletak di Hudaibiyah. Dan para sahabat r.a yang ikut berjanji setia kepada Nabi Muhammad SAW ketika itu berjumlah 1400 orang.
Kemudian Rasulullah SAW berseru kepada orang banyak untuk mengadakan janji setia. Janji mereka itu kemudian dinamakan Baitur Ridhwan yang dilaksanakan di bawah pohon. Orang-orang pun mulai melaksanakan janji setia. Dan tidak ada orang yang enggan untuk melaksanakannya kecuali Al Jad bin Qais, saudara Bani Salamah. Jabir bin Abdillah mengatakan “Demi Allah, sungguh aku seolah-olah melihatnya merapat dengan ketiak untanya yang dia tuju. Dengan untanya itu ia bersembunyi dari orang banyak.Kemudian datanglah berita kepada Rasulullah SAW bahwa berita tentang kematian Utsman itu dusta belaka. Sedangkan telah terdapat di dalam perjanjian itu bahwa mereka yang berjanji tidak akan lari dari berperang untuk selamanya. Hal itu telah membuat Kaum Musyrikin ketakutan. Dan merekapun mengirimkan orang-orang muslim yang ada bersama mereka dan mereka meminta untuk mengadakan gencatan senjata dan perdamaian”
Abu Bakar Al Hamidi meriwayatkan bahwa Jabir r.a berkata “Pada peristiwa Hudaibiyah itu kami berjumlah 1400 orang. Maka bersabdalah Rasulullah SAW kepada kami `Kalian semua adalah penduduk bumi yang paling baik`”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Jabir r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak akan masuk neraka seseorang yang pernah mengikat janji setia di bawah pohon ini”
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir r.a “Seorang budak kepunyaan Hathib bin Abi Balta`ah datang mengadukan tuannya yaitu Hathib. Si Budak berkata “Wahai Rasulullah, pastilah Hathib itu akan masuk neraka”, kemudian Rasulullah SAW bersabda”Engkau telah berdusta. Dia tidak akan masuk di didalamnya, karena dia telah ikut dalam Perang Badar dan Perjanjian Hudaibiyah.”
Itulah sebabnya Allah SWT berfirman dengan memberikan sanjungan kepada mereka “Bahwasanya orang-orang yang  berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar”. Allah juga berfirman di ayat yang lain “ Sesungguhnya Aku telah ridho terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu dibawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat”(QS Al Fath ayat 18)
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Ibnu Khaldun dalam kitabnya, al-Muqadimah menyatakan,
البيعة هي العهد على الطاعة، كأن المبايع يعاهد أميره على أنه يسلم له النظر في أمر نفسه وأمور المسلمين، لا ينازغه في شيء من ذلك، ويطيعه فيما يكلفه به من الأمر على المنشط والمكره
”Bai’at adalah janji untuk taat. Seolah orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijakan terkait urusan dirinya dan urusan kaum muslimin. Tanpa sedikitpun berkeinginan menentangnya. Serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.” (Mukadimah Ibnu Khaldun, 1/108).
Istilah baiat telah dikenal sejaka masa silam, bahkan sebelum Islam. Masyarakat memberikan baiatnya kepada masing-masing kepala kabilah mereka. Mentaati setiap perintah dan larangan pimpinan kabilah.
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, setiap orang yang masuk islam, membaiat beliau. Mereka berjanji setia untuk mendengar dan taat kepada semua aturan beliau dan juga berbaiat untuk melindungi beliau.
Dalam sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita mengenal baiat aqabah pertama, baiat aqabah kedua, kemudian ada juga baiat ridhwan, untuk menuntut darah Utsman.
Salah satu isi baiat sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinyatakan dalam hadis dari Abbas bin Abdul Muthalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada beberapa orang Madinah yang membaiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka bertanya,
“Apa yang harus kami Baiatkan?”
Lalu beliau bersabda,
تبايعوني على السمع والطاعة في النشاط والكسل وعلى النفقة في العسر واليسر وعلى الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر وعلى أن تقولوا في الله لا يأخذكم في الله لومة لائم وعلى أن تنصروني إذا قدمت عليكم وتمنعوني ما تمنعون منه أنفسكم وأزواجكم وأبناءكم فلكم الجنة
Kalian baiat aku untuk mendengar dan taat, baik ketika sedang semangat maupun lagi malas. Untuk memberi nafkah baik ketika sedang sulit maupun sedang longgar, untuk selalu amar makruf nahi munkar, menyatakan kebenaran syariat Allah, tanpa takut dengan celaan apapun. Dan baiat untuk membelaku jika aku datang ke negeri kalian, dan melindungiku sebagaimana kalian melindungi diri kalian, istri kalian, dan anak kalian. Sehingga kalian mendapat surga. (HR. Ibn Majah 7012 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
Demikianlah para khalifah, semuanya dibaiat oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.

Wajib Baiat Kepada Pemerintah yang Sah

Islam sangat antuasias untuk mewujudkan persatuan umatnya. Sementara persatuan tidak mungkin terwujud, kecuali jika di sana ada satu imam yang memimpin semuanya. Karena itulah, ketika di tengah kaum muslimin ada pemimpin dan pemerintah yang sah, maka kaum muslimin diwajibkan membaiatnya.
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”. (HR. Muslim 4899).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya mati dalam kondisi jahiliyah karena manusia yang hidup di zaman jahiliyah, mereka tidak punya pemimin satu negara. Adanya pemimpin kabilah-kabilah kecil. Sehingga peluang terjadinya peperangan antar-suku sangat besar.
An-Nawawi mengatakan,
(ميتة جاهلية) أي على صفة موتهم من حيث هم فوضى لا إمام لهم
Mati dalam keadaan jahiliyah artinya mati seperti orang jahiliyah, dimana mereka suka perang, kacau, tidak punya pemimpin tunggal. (Syarh Shahih Muslim, 12/238).
Sehingga makna hadis, orang yang tidak membaiat pemerintah yang sah, seperti orang jahiliyah. Ini sejalan dengan keteragan di hadis lain, dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ، وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ فَمَاتَ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Siapa yang tidak mau taat, memisahkan diri dari jamaah (di bawah imam), hingga dia mati maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim 1848).
Demikian pula ketika dalam satu wilayah negara ada lebih dari satu pemimpin, maka salah satunya harus dibunuh.
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Jika ada dua khalifah dibaiat, maka bunuhlah yang dibaiat terakhir”. (HR. Muslim 4905)
Dalam hadis lain, dari Abdullah bin Amar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ بَايَعَ إِمَاماً فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ مَا اسْتَطَاعَ َإِنْ جِاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الآخَرِ
“Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang itu.” (HR. Ahmad 6657, Abu Daud 4250 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Bai’at adalah pelantikan, peresmian, penobatan (tahbis) seorang yang memiliki keseriusan dalam menempuh jalan pengetahuan (makrifat) Allah melalui seorang Mursyid yang diyakini memiliki hubungan khusus secara jasmani dan ruhani kepada Rasulullah Saw. Bai’at, talqin, pemberian ijazah atau inisiasi spiritual dikaitkan dengan peristiwa Bai’atur Ridwan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan para sahabat. Ketika itu para sahabat menyatakan janji setia dalam kondisi apapun untuk mengabdi kepada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa ini dilukiskan dalam Al-Quran:
لَّقَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا ﴿الفتح:١٨
Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)
Di zaman Rasulullah Saw, bai’at diberlakukan terhadap mereka yang hendak masuk  agama Islam serta bagi yang berkeinginan menunaikan pekerjaan-pekerjaan (perintah) agama. Di antara bai’at yang ada waktu itu adalah bai’at untuk taat dan patuh kepada Rasulullah Saw.[2]
Berbai’at untuk berlaku taat merupakan perintah syar’i dan Sunnah Rasulullah Saw meskipun telah beriman terlebih dahulu. Karena bai’at merupakan pembaharu janji setia serta penguat jalinan kepercayaan beragama
Ada yang memiliki persepsi keliru bahwa bai’at hanya dilakukan di saat peperangan sebagaimana yang terjadi pada masa Rasulullah Saw dan para sahabatnya ketika menghadapi kaum kafir Mekah. Padahal asbabun nuzul (sebab turunnya) kedua ayat tersebut menunjukkan disyari’atkannya bai’at dan tidak ada penjelasan bahwa bai’at hanya dilakukan pada saat peperangan saja. Kebijakan syari’at bai’at dilakukan pada setiap zaman untuk membangun kepemimpinan.
Makna Bai’at
Secara etimologi Bai’at adalah Isim mashdar dari baa-ya’a-yubaaya’a-bay’atun [بايع – يبايع - بيعة]. Asalnya sama dengan baayi’un (transaksi)
Makna bai’at itu sendiri adalah sumpah setia dengan suatu kepemimpinan. Sehingga ada jalinan hubungan yang kuat antara yang memimpin dan yang dipimpin. Dengan prosesi bai’at terjalinlah ikatan hukum berupa hak dan kewajiban serta tanggung jawab kedua belah pihak secara adil dan proporsional. Adanya hak dan kewajiban ini merupakan hasil dari bai’at.
Bai’at lebih merupakan pernyataan komitmen spiritual secara formal di depan mursyid untuk menjalani hidup yang benar dan lurus. Bai’at dapat menjadi terapi kaget (shock theraphy) menuju untuk hijrah kepada susasana batin yang baru dan memberikan motivasi berkomitmen dalam kehidupan yang benar.
Bai’at di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging ) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan tempat memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah. Fungsi mursyid sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercayai salik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  (Majelis ke 2) FAQIR (Fathur-Rabbany) بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ   اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورس...